Waktu untuk Tidak Menikah
Jika kau membaca
buku ini untuk mencari pembenaran agar tidak menikah, sepertinya kita salah kaprah.
Buku ini hanya akan mengajarkan bahwa sebelum maupun sesudah menikah, akan ada pelajaran-pelajaran yang entah kapan akan kita tamatkan.
Untuk yang belum menikah - entah berniat ataupun tidak- buku ini memberikan gambaran bahwa menikah ada baiknya. Tapi untuk menuju sana, seringkali ada hati-hati yang patah. Serta perjuangan yang bahkan terkadang sia-sia.
Untuk yang sudah menikah, buku ini bercerita dengan jujur bahwa menikah tak hanya soal tidur bersama dan lain sebagaimnya. Tapi nyatanya, kita perlu mengelus dada untuk mempertahankannya.
Buku ini hanya akan mengajarkan bahwa sebelum maupun sesudah menikah, akan ada pelajaran-pelajaran yang entah kapan akan kita tamatkan.
Untuk yang belum menikah - entah berniat ataupun tidak- buku ini memberikan gambaran bahwa menikah ada baiknya. Tapi untuk menuju sana, seringkali ada hati-hati yang patah. Serta perjuangan yang bahkan terkadang sia-sia.
Untuk yang sudah menikah, buku ini bercerita dengan jujur bahwa menikah tak hanya soal tidur bersama dan lain sebagaimnya. Tapi nyatanya, kita perlu mengelus dada untuk mempertahankannya.
Tulisan-tulisan Amanatia Junda memang pernah termuat di media massa, tapi tetap saja ia adalah nama baru dalam kontestasi sastra Indonesia. Karya yang berisi empat belas cerita pendek ini adalah buku pertamanya. Namun, ternyata, empat belas tokoh perempuan yang ia kisahkan dalam buku ini toh berhasil merebut perhatian. Buku ini diterima publik dengan baik. Cetakan pertama amblas dalam dua bulan saja. Bagaimana buku ini melenggang dengan optimistis dalam pertaruhan itu?
Terkadang perpisahan-perpisahan yang dikisahkan dalam buku ini akan membuat kita kembali berpikir: bahwa memang ada waktu untuk tidak menikah.
Waktu untuk
Tidak Menikah tentu saja adalah judul yang absurd apabila dibaca para
jomlowuun( bentuk jamak dari jomlo) la dimana para jomlo yang sedang mencari
kesana kesini pasangan untuk menikah la ini malahan judul mengganggu otak untuk
santuy “Waktu untuk Tidak Menikah”
tapi tenang, buku ini lebih dari sekedar judul itu.
Jika saya seorang
pembaca yang sedang memegangi satu per satu buku yang terpajang pada sebuah rak
“sastra” sebuah toko buku, judul semacam itu sudah pasti menggiring saya untuk
membaca sinopsis pada bagian belakangnya. Beruntung, sampul belakang buku
memang menjelaskan cukup cetha dan gamblang tentang satu cerita yang dipakai untuk
menjadi judul utama buku ini.
Seperti kalimat mantra yang dituliskan Amanatia, penulisnya, "Betapapun perpisahan itu ada baiknya, sama baiknya dengan perjumpaan, tidak ada satu orang pun yang siap menghadapi perpisahan," Ada 14 cerita pendek dalam buku terbitan Mojok ini. Salah satu cerpennya berjudul Waktu untuk Tidak Menikah memang akan paling menggambarkan judul bukunya. Tapi dari kisah lainnya, kita akan selalu diberikan pembelajaran, baik dari kebingungan-kebingungan, maupun dari luka-luka patah dari cerita pendeknya. namun sobat ngebook kudu tenang, kamaqol Lord Didi Kempot: Patah hati kudu di jogeti! mainkaan lurr!