Iklan

Minggu, 04 Agustus 2019, 23.18.00 WIB
Last Updated 2019-08-05T06:18:30Z
Nge-bookResensi buku

Waktu untuk Tidak Menikah: Waktu untuk Santuy

 Waktu untuk Tidak Menikah

Jika kau membaca buku ini untuk mencari pembenaran agar tidak menikah, sepertinya kita salah kaprah.

Buku ini hanya akan mengajarkan bahwa sebelum maupun sesudah menikah, akan ada pelajaran-pelajaran yang entah kapan akan kita tamatkan.
Untuk yang belum menikah - entah berniat ataupun tidak- buku ini memberikan gambaran bahwa menikah ada baiknya. Tapi untuk menuju sana, seringkali ada hati-hati yang patah. Serta perjuangan yang bahkan terkadang sia-sia.
Untuk yang sudah menikah, buku ini bercerita dengan jujur bahwa menikah tak hanya soal tidur bersama dan lain sebagaimnya. Tapi nyatanya, kita perlu mengelus dada untuk mempertahankannya.

Tulisan-tulisan Amanatia Junda memang pernah termuat di media massa, tapi tetap saja ia adalah nama baru dalam kontestasi sastra Indonesia. Karya yang berisi empat belas cerita pendek ini adalah buku pertamanya. Namun, ternyata, empat belas tokoh perempuan yang ia kisahkan dalam buku ini toh berhasil merebut perhatian. Buku ini diterima publik dengan baik. Cetakan pertama amblas dalam dua bulan saja. Bagaimana buku ini melenggang dengan optimistis dalam pertaruhan itu?

Terkadang perpisahan-perpisahan yang dikisahkan dalam buku ini akan membuat kita kembali berpikir: bahwa memang ada waktu untuk tidak menikah.

Waktu untuk Tidak Menikah tentu saja adalah judul yang absurd apabila dibaca para jomlowuun( bentuk jamak dari jomlo) la dimana para jomlo yang sedang mencari kesana kesini pasangan untuk menikah la ini malahan judul mengganggu otak untuk santuy “Waktu untuk Tidak  Menikah” tapi tenang, buku ini lebih dari sekedar judul itu. 

Jika saya seorang pembaca yang sedang memegangi satu per satu buku yang terpajang pada sebuah rak “sastra” sebuah toko buku, judul semacam itu sudah pasti menggiring saya untuk membaca sinopsis pada bagian belakangnya. Beruntung, sampul belakang buku memang menjelaskan cukup cetha dan gamblang tentang satu cerita yang dipakai untuk menjadi judul utama buku ini.

Seperti kalimat mantra yang dituliskan Amanatia, penulisnya, "Betapapun perpisahan itu ada baiknya, sama baiknya dengan perjumpaan, tidak ada satu orang pun yang siap menghadapi perpisahan," Ada 14 cerita pendek dalam buku terbitan Mojok ini. Salah satu cerpennya berjudul Waktu untuk Tidak Menikah memang akan paling menggambarkan judul bukunya. Tapi dari kisah lainnya, kita akan selalu diberikan pembelajaran, baik dari kebingungan-kebingungan, maupun dari luka-luka patah dari cerita pendeknya. namun sobat ngebook kudu tenang, kamaqol Lord Didi Kempot: Patah hati kudu di jogeti! mainkaan lurr!