Belajar dari Buku Laki-Laki yang tak Berhenti Menangis
Syahdan,
semua berawal pada suatu hari sewaktu Nuh hendak menanam sebatang pohon. Sedang
sibuk menggali tanah, dia tak menyadari kedatangan seekor kambing (riwayat yang
lain menyebutkan yang menghampiri Nuh adalah seekor anjing).
Itulah kambing istimewa: berkaki lima (tiga di depan dan dua di belakang), bermata tiga, dan mulutnya mencong.
Lalu ketika Nuh menoleh dan melihat kambing itu, dia tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. “Jelek banget sih kamu kambing. Kakimu ada lima, matamu tiga, mulutmu mencong.”
Begitulah kira-kira yang terucap dari mulut Nuh. Dia terus tertawa hingga kambing yang ditertawakannya bersuara layaknya manusia.
“Hai Nuh, rupaku memang jelek, dan menurutmu aku mungkin juga makhluk tidak berguna. Tidak bisa berbuat apa-apa sepertimu, tapi apakah kamu lupa wahai manusia berguna?”
“Lupa tentang apa?”
“Penciptamu dan penciptaku sama.” .
Nuh seketika terdiam. Mulutnya seperti disumpal batu. Darah di sekujur tubuhnya seolah berhenti beredar. Mukanya pucat. Tubuhnya gemetar sejadi-jadinya.
Dia menyadari pikiran dan ucapannya telah keliru. Sombong. Jemawa. Merasa paling sempurna. Merasa paling berguna.
Dan Nuh semakin gemetar ketika usahanya untuk meminta maaf pada kambing yang ditertawakan dan dihinanya tidak kesampaian karena si kambing sudah lenyap dari pandangan matanya. .
Dia merunduk sebelum bersimpuh dan meletakkan kepalanya sejajar dengan tanah. Dia meminta ampun sambil menangis.
Sejak itulah, laki-laki yang selalu meminta ampun dan selalu berysukur itu terus menangis. Orang-orang lalu menjulukinya sebagai laki-laki yang tak berhenti menangis. Laki-laki yang dipanggil Nuh itu.
Itulah kambing istimewa: berkaki lima (tiga di depan dan dua di belakang), bermata tiga, dan mulutnya mencong.
Lalu ketika Nuh menoleh dan melihat kambing itu, dia tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. “Jelek banget sih kamu kambing. Kakimu ada lima, matamu tiga, mulutmu mencong.”
Begitulah kira-kira yang terucap dari mulut Nuh. Dia terus tertawa hingga kambing yang ditertawakannya bersuara layaknya manusia.
“Hai Nuh, rupaku memang jelek, dan menurutmu aku mungkin juga makhluk tidak berguna. Tidak bisa berbuat apa-apa sepertimu, tapi apakah kamu lupa wahai manusia berguna?”
“Lupa tentang apa?”
“Penciptamu dan penciptaku sama.” .
Nuh seketika terdiam. Mulutnya seperti disumpal batu. Darah di sekujur tubuhnya seolah berhenti beredar. Mukanya pucat. Tubuhnya gemetar sejadi-jadinya.
Dia menyadari pikiran dan ucapannya telah keliru. Sombong. Jemawa. Merasa paling sempurna. Merasa paling berguna.
Dan Nuh semakin gemetar ketika usahanya untuk meminta maaf pada kambing yang ditertawakan dan dihinanya tidak kesampaian karena si kambing sudah lenyap dari pandangan matanya. .
Dia merunduk sebelum bersimpuh dan meletakkan kepalanya sejajar dengan tanah. Dia meminta ampun sambil menangis.
Sejak itulah, laki-laki yang selalu meminta ampun dan selalu berysukur itu terus menangis. Orang-orang lalu menjulukinya sebagai laki-laki yang tak berhenti menangis. Laki-laki yang dipanggil Nuh itu.
Buku ini
merupakan kumpulan tulisan Cak Rusdi Mathari yang isinya merupakan bagian dari
refleksi diri sebagai seorang manusia. Ditulis dengan gaya penceritaan seperti
dongeng sebelum tidur dan sesekali petuah-petuah khas Khotbah Jumat.
Naskah
yang berisi mengenai refleksi dan pemahaman mengenai Islam yang rahmatalilalamin,
santun, santuy, tidak grusa-grusu, dan lembut. Hal yang patut digaris bawahi
terutama karena Islam sekarang sering kali disampaikan dengan nada-nada kelewat
keras, sehingga terkesan menakutkan.
Beberapa
tulisan di buku ini juga merupakan refleksi Cak Rusdi sendiri sebagai manusia.
Dalam salah satu tulisan berjudul "Perayaan", Cak Rusdi seolah sudah
menduga bahwa beliau sebentar lagi akan meninggalkan dunia ini.
Ada
beberapa pesan yang ditujukan kepada semua orang yang mengenalnya. Pesan-pesan
yang barangkali tidak disadari Cak Rusdi bahwa tulisan tersebut adalah salah
satu dari tulisan perpisahan untuk para pembacanya.
Ketika
kebencian merajalela, kedengkian meningkat, dan fanatisme terhadap agama memuncak,
Cak Rusdi hadir membagikan kisah-kisah yang tak hanya menyejukkan hati
melainkan mengajak manusia untuk berserah diri kepada Gusti Alloh Swt.
Buku Cak Rusdi Mathari yang
saya baca ini, sama seperti buku terdahulunya "Merasa Pintar, Bodoh Saja
Tak punya," atau pada buku “Mereka sibuk menghitung langkah ayam” meski
buku ini adalah sehimpun tulisan reportase beliau.
Cak
Rusdi sapaan akrabnya kembali membuat saya merasa tertampar setelah selesai
membaca buku ini di tulis dengan gaya
penceritaan sederhana dengan petuah-petuah khas pengajian, mengandung
makna-makna kehidupan namun tetap mengkritik rasa sosial. Sama seperti Cak
Rusdi, bagi saya membaca buku ini adalah refleksi diri dan mengingat kembali,
jangankan untuk menjadi seorang muslim, bahkan menjadi manusia yang lumayan
baik pun saya belum bisa memenuhinya. Jadi teringat sebuah tulisan yang kurang
lebih” menjadi manusia nilai adalah ketika dirimu itu menjadi diri sendiri”.
Berlanjut kisah yang dibagikannya menjadi penyejuk hati, ditengah rasa frustasi saya melihat betapa banyak kebencian dan fanatisme terhadap agama yang terjadi saat ini. Beberapa tulisannya mengingatkan saya bahwa poin penting dalam beragama itu adalah untuk menjadikan seseorang punya rasa kemanusian yang lebih ketimbang sebelumnya.
Cak Rusdi selalu punya spirit dan power tulisan yang cukup berbeda dari orang kebanyakan. Ditambah dengan cara menulisnya yang baik dan menarik, buku ini seakan oase dari rasa haus dan ketakutan dari teriakan-teriakan para sekumpulan orang yang (katanya) lebih merasa dirinya adalah ahli surga-neraka. Bukan melulu dinilai dari segi agama, tapi juga melihat dari segi kemanusiaan. Latar belakang cak Rusdi yang pernah menjadi santri di beberapa pondok pesantren, membuat tulisannya semakin berbobot, karena punya dasar agama.
Tulisan
cak Rusdi menyadarkan kalau di luar sana, masih ada, bahkan mungkin banyak
orang-orang yang masih punya tingkat toleransi yang tinggi, untuk menerima
kalau Indonesia memang sengaja diciptakan oleh Tuhan, untuk dipenuhi dengan
segala perbedaan.
"Urusan akidah adalah urusan masing-masing individu, tapi urusan berhubungan baik dengan sesama manusia adalah urusan bersama" - Cak Rusdi Mathari –
"Urusan akidah adalah urusan masing-masing individu, tapi urusan berhubungan baik dengan sesama manusia adalah urusan bersama" - Cak Rusdi Mathari –