Iklan

Sabtu, 10 Agustus 2019, 06.39.00 WIB
Last Updated 2019-08-10T13:39:24Z
Nge-bookResensi buku

Penciptamu dan Penciptaku Sama





Belajar dari Buku Laki-Laki yang tak Berhenti Menangis

Syahdan, semua berawal pada suatu hari sewaktu Nuh hendak menanam sebatang pohon. Sedang sibuk menggali tanah, dia tak menyadari kedatangan seekor kambing (riwayat yang lain menyebutkan yang menghampiri Nuh adalah seekor anjing).
Itulah kambing istimewa: berkaki lima (tiga di depan dan dua di belakang), bermata tiga, dan mulutnya mencong.

Lalu ketika Nuh menoleh dan melihat kambing itu, dia tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. “Jelek banget sih kamu kambing. Kakimu ada lima, matamu tiga, mulutmu mencong.”

Begitulah kira-kira yang terucap dari mulut Nuh. Dia terus tertawa hingga kambing yang ditertawakannya bersuara layaknya manusia.

“Hai Nuh, rupaku memang jelek, dan menurutmu aku mungkin juga makhluk tidak berguna. Tidak bisa berbuat apa-apa sepertimu, tapi apakah kamu lupa wahai manusia berguna?”

“Lupa tentang apa?”

“Penciptamu dan penciptaku sama.” .

Nuh seketika terdiam. Mulutnya seperti disumpal batu. Darah di sekujur tubuhnya seolah berhenti beredar. Mukanya pucat. Tubuhnya gemetar sejadi-jadinya.

Dia menyadari pikiran dan ucapannya telah keliru. Sombong. Jemawa. Merasa paling sempurna. Merasa paling berguna.

Dan Nuh semakin gemetar ketika usahanya untuk meminta maaf pada kambing yang ditertawakan dan dihinanya tidak kesampaian karena si kambing sudah lenyap dari pandangan matanya. .

Dia merunduk sebelum bersimpuh dan meletakkan kepalanya sejajar dengan tanah. Dia meminta ampun sambil menangis.

Sejak itulah, laki-laki yang selalu meminta ampun dan selalu berysukur itu terus menangis. Orang-orang lalu menjulukinya sebagai laki-laki yang tak berhenti menangis. Laki-laki yang dipanggil Nuh itu.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan Cak Rusdi Mathari yang isinya merupakan bagian dari refleksi diri sebagai seorang manusia. Ditulis dengan gaya penceritaan seperti dongeng  sebelum tidur dan sesekali petuah-petuah khas Khotbah Jumat.
Naskah yang berisi mengenai refleksi dan pemahaman mengenai Islam yang rahmatalilalamin, santun, santuy, tidak grusa-grusu, dan lembut. Hal yang patut digaris bawahi terutama karena Islam sekarang sering kali disampaikan dengan nada-nada kelewat keras, sehingga terkesan menakutkan.
Beberapa tulisan di buku ini juga merupakan refleksi Cak Rusdi sendiri sebagai manusia. Dalam salah satu tulisan berjudul "Perayaan", Cak Rusdi seolah sudah menduga bahwa beliau sebentar lagi akan meninggalkan dunia ini.
Ada beberapa pesan yang ditujukan kepada semua orang yang mengenalnya. Pesan-pesan yang barangkali tidak disadari Cak Rusdi bahwa tulisan tersebut adalah salah satu dari tulisan perpisahan untuk para pembacanya.
Ketika kebencian merajalela, kedengkian meningkat, dan fanatisme terhadap agama memuncak, Cak Rusdi hadir membagikan kisah-kisah yang tak hanya menyejukkan hati melainkan mengajak manusia untuk berserah diri kepada Gusti Alloh Swt.
Buku Cak Rusdi Mathari yang saya baca ini, sama seperti buku terdahulunya "Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak punya," atau pada buku “Mereka sibuk menghitung langkah ayam” meski buku ini adalah sehimpun tulisan reportase beliau.
Cak Rusdi sapaan akrabnya kembali membuat saya merasa tertampar setelah selesai membaca buku ini di  tulis dengan gaya penceritaan sederhana dengan petuah-petuah khas pengajian, mengandung makna-makna kehidupan namun tetap mengkritik rasa sosial. Sama seperti Cak Rusdi, bagi saya membaca buku ini adalah refleksi diri dan mengingat kembali, jangankan untuk menjadi seorang muslim, bahkan menjadi manusia yang lumayan baik pun saya belum bisa memenuhinya. Jadi teringat sebuah tulisan yang kurang lebih” menjadi manusia nilai adalah ketika dirimu itu menjadi diri sendiri”.

Berlanjut kisah yang dibagikannya menjadi penyejuk hati, ditengah rasa frustasi saya melihat betapa banyak kebencian dan fanatisme terhadap agama yang terjadi saat ini. Beberapa tulisannya mengingatkan saya bahwa poin penting dalam beragama itu adalah untuk menjadikan seseorang punya rasa kemanusian yang lebih ketimbang sebelumnya.

Cak Rusdi selalu punya spirit dan power tulisan yang cukup berbeda dari orang kebanyakan. Ditambah dengan cara menulisnya yang baik dan menarik, buku ini seakan oase dari rasa haus dan ketakutan dari teriakan-teriakan para sekumpulan orang yang (katanya) lebih merasa dirinya adalah ahli surga-neraka. Bukan melulu dinilai dari segi agama, tapi juga melihat dari segi kemanusiaan. Latar belakang cak Rusdi yang pernah menjadi santri di beberapa pondok pesantren, membuat tulisannya semakin berbobot, karena punya dasar agama.
Tulisan cak Rusdi menyadarkan kalau di luar sana, masih ada, bahkan mungkin banyak orang-orang yang masih punya tingkat toleransi yang tinggi, untuk menerima kalau Indonesia memang sengaja diciptakan oleh Tuhan, untuk dipenuhi dengan segala perbedaan.

"Urusan akidah adalah urusan masing-masing individu, tapi urusan berhubungan baik dengan sesama manusia adalah urusan bersama" -  Cak Rusdi Mathari –