Iklan

Sabtu, 18 Desember 2021, 04.42.00 WIB
Last Updated 2021-12-18T12:42:17Z
Nyaba Desa

Sekolah Tanpa Seragam

Foto: Gedung KB Qaryah Thayyibah, Kalibening, Tingkir, Salatiga


"Aku berpikir, maka aku goblog" adalah kutipan yang tepat untuk saat ini. Sebab semakin kita berpikir dan meng-ada-kan, eksistensi diri maka sebenarnya diri ini semakin tidak ada, pun sebenarnya diri ini adalah goblog. Sesungguhnya diri adalah bagian dari orang yang aniaya.

"Aku menulis maka aku ada". Ketika kita menulis maka bakal ada, ada panggung wkwk akan dikenal dan sebagainya. Menulis adalah bagian dari mendokumentasikan perjalanan agar memiliki sejarah ibarat puzzle disusun menjadi sebuah tatanan yang utuh.

Aku berkarya maka aku ada, ya sama dengan hal yang telah diulas diatas. Menggali potensi diri mengasah kreativitas dengan berkarya. Ini lah yang penulis temukan ketika belajar di sekolah alternatif Fatanugraha Wonosobo.

Meskipun masih sekedarnya tetapi menjadikan diri ini menemukan passion katakanlah, dengan berbagai hantaman rono-rene sehingga sampai menemukan salah satu hal yang disenangi dan dijalani menjadi kegiatan yang mendapatkan pengalaman berharga.

Ini pun belum pada puncaknya ketika bertapa di gua peradaban dan mandi di kawah candradimuka, dimana nantinya masih ada ide-ide yang akan digali dan ditelurkan. Menjadi sebuah keberkahan tersendiri tentunya ketika berproses di sekolah alternatif di Wonosobo ini.

Jika dianalogikan seperti ini yang tertuang pada buku “Sekolah Biasa Saja” “Karakteristik sekolah pada umumnya tersebut justru tidak terdapat di sekolah yang satu ini. Alih-alih mengikuti standarisasi pendidikan dari pemerintah, sekolah ini justru membuat “standar” mereka sendiri. Kurikulum dari pemerintah resmi sekadar jadi bahan pembanding kurikulum yang mereka buat sendiri. Lebih dari itu anak-anak tak dianjurkan untuk berideologi kompetisi dan mengejar prestasi-prestasi semu. Bahkan pengelolanya sendiri menjuluki sekolah ini sebagai “Sekolah Biasa Saja” (2014).

Hal yang dipelajari murid diarahkan betul untuk mengasah nalar kritisnya, dan pada akhirnya tidak berhenti menjadi pengetahuan belaka, melainkan sampai pada tindakan nyata murid atas hal yang dipelajari.

Di pedesaan misalnya, anak-anak juga ‘bersekolah’ langsung dari kehidupan sehari-hari. Mereka belajar berbagai hal yang berguna bagi kehidupan mereka kelak sebagai orang dewasa. Anak-anak laki-laki dan perempuan belajar kehidupan, dan pekerjaan pertama kali terutama Sang ayah dan Sang Ibu, atau para Laki-laki dan Perempuan dewasa dan lingkungan di sekitarnya. Atau seakar dengan ungkapan “al-umm madrasatul ula”, seorang ibu adalah pendidikan awal dari seorang anaknya.

Ketika dulu waktu belajar di sekolah Alternatif Fatanugraha Wonosobo, sudah terbiasa tidak memakai seragam pada umumnya sekolah. Dimana berbeda dengan sekolah formal, yang terbiasa berseragam.

Ternyata di sekolah formal bukan hanya menuntut pesertanya seragam dalam berpakaian, tetapi lebih dari itu, sekolah juga menyeragamkan peserta didik nyaris dalam segala hal. Pakaian seragam, bahasa seragam, mata pelajaran seragam, tingkah laku seragam, bahkan sekolah juga memaksakan isi kepala hingga isi hati manusia yang ada di dalamnya untuk diseragamkan.

Hal ini bukan berarti membedakan label atau tampilan. Tetapi berbicara akan substansi dari pendidikan itu sendiri bagaimana? dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya pun telah disinggung “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya..” membangun jiwa terlebih dahulu daripada tampilan belaka, yang nantinya tampilan bakal menyesuaikan dengan jiwa masing-masing individu.

Dapat menempatkan sesuai kadar posisi, pan papan. Tetapi perlu diingat bahwa tampilan seseorang bukan untuk ukuran menilai seseorang. Sebagaimana ungkapan bahwa Tuhan tidak menilai dari pakaian, harta bendanya tetapi ketulusan hatinya.

Mereka-mereka yang dianggap melenceng dari penyeragaman sekolah, kemudian dicap sebagai murid yang nakal, bodoh, hingga pada akhirnya disingkirkan secara sistematis seperti produk-produk gagal dalam sebuah siklus pabrikasi yang tidak lolos uji kelayakan.

Padahal Tuhan telah memberikan hidayah, anugerah kepada manusia sejak dari janin berupa sifat, kecenderungan, bakat dan keunikan yang berbeda-beda setiap manusia, mempunyai potensi kreatifitas masing-masing, bahkan kepada manusia yang lahir kembar sekalipun.

Namun, ketika kita lahir ke dunia dan mulai memasuki institusi pendidikan keragaman anugerah dan hidayah itu justru diruntuhkan oleh sekolah dengan melalui cara penyeragaman. Wallahu a’lam bishowab.