Foto: Gedung KB Qaryah Thayyibah, Kalibening, Tingkir, Salatiga |
"Aku berpikir, maka aku
goblog" adalah kutipan yang tepat untuk saat ini. Sebab semakin kita
berpikir dan meng-ada-kan, eksistensi diri maka sebenarnya diri ini semakin
tidak ada, pun sebenarnya diri ini adalah goblog. Sesungguhnya diri adalah
bagian dari orang yang aniaya.
"Aku menulis maka aku
ada". Ketika kita menulis maka bakal ada, ada panggung wkwk akan dikenal
dan sebagainya. Menulis adalah bagian dari mendokumentasikan perjalanan agar
memiliki sejarah ibarat puzzle disusun menjadi sebuah tatanan yang utuh.
Aku berkarya maka aku ada, ya sama
dengan hal yang telah diulas diatas. Menggali potensi diri mengasah kreativitas
dengan berkarya. Ini lah yang penulis temukan ketika belajar di sekolah
alternatif Fatanugraha Wonosobo.
Meskipun masih sekedarnya tetapi
menjadikan diri ini menemukan passion katakanlah, dengan berbagai hantaman rono-rene
sehingga sampai menemukan salah satu hal yang disenangi dan dijalani menjadi
kegiatan yang mendapatkan pengalaman berharga.
Ini pun belum pada puncaknya ketika
bertapa di gua peradaban dan mandi di kawah candradimuka, dimana nantinya masih
ada ide-ide yang akan digali dan ditelurkan. Menjadi sebuah keberkahan
tersendiri tentunya ketika berproses di sekolah alternatif di Wonosobo ini.
Jika dianalogikan seperti ini yang
tertuang pada buku “Sekolah Biasa Saja” “Karakteristik sekolah pada umumnya
tersebut justru tidak terdapat di sekolah yang satu ini. Alih-alih mengikuti
standarisasi pendidikan dari pemerintah, sekolah ini justru membuat “standar”
mereka sendiri. Kurikulum dari pemerintah resmi sekadar jadi bahan pembanding
kurikulum yang mereka buat sendiri. Lebih dari itu anak-anak tak dianjurkan
untuk berideologi kompetisi dan mengejar prestasi-prestasi semu. Bahkan
pengelolanya sendiri menjuluki sekolah ini sebagai “Sekolah Biasa Saja” (2014).
Hal yang dipelajari murid diarahkan
betul untuk mengasah nalar kritisnya, dan pada akhirnya tidak berhenti menjadi
pengetahuan belaka, melainkan sampai pada tindakan nyata murid atas hal yang dipelajari.
Di pedesaan misalnya, anak-anak juga
‘bersekolah’ langsung dari kehidupan sehari-hari. Mereka belajar berbagai hal
yang berguna bagi kehidupan mereka kelak sebagai orang dewasa. Anak-anak
laki-laki dan perempuan belajar kehidupan, dan pekerjaan pertama kali terutama
Sang ayah dan Sang Ibu, atau para Laki-laki dan Perempuan dewasa dan lingkungan
di sekitarnya. Atau seakar dengan ungkapan “al-umm madrasatul ula”, seorang ibu
adalah pendidikan awal dari seorang anaknya.
Ketika dulu waktu belajar di sekolah
Alternatif Fatanugraha Wonosobo, sudah terbiasa tidak memakai seragam pada
umumnya sekolah. Dimana berbeda dengan sekolah formal, yang terbiasa berseragam.
Ternyata di sekolah formal bukan
hanya menuntut pesertanya seragam dalam berpakaian, tetapi lebih dari itu,
sekolah juga menyeragamkan peserta didik nyaris dalam segala hal. Pakaian
seragam, bahasa seragam, mata pelajaran seragam, tingkah laku seragam, bahkan
sekolah juga memaksakan isi kepala hingga isi hati manusia yang ada di dalamnya
untuk diseragamkan.
Hal ini bukan berarti membedakan
label atau tampilan. Tetapi berbicara akan substansi dari pendidikan itu
sendiri bagaimana? dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya pun telah disinggung “bangunlah
jiwanya, bangunlah badannya..” membangun jiwa terlebih dahulu daripada tampilan
belaka, yang nantinya tampilan bakal menyesuaikan dengan jiwa masing-masing
individu.
Dapat menempatkan sesuai kadar
posisi, pan papan. Tetapi perlu diingat bahwa tampilan seseorang bukan
untuk ukuran menilai seseorang. Sebagaimana ungkapan bahwa Tuhan tidak menilai
dari pakaian, harta bendanya tetapi ketulusan hatinya.
Mereka-mereka yang dianggap
melenceng dari penyeragaman sekolah, kemudian dicap sebagai murid yang nakal,
bodoh, hingga pada akhirnya disingkirkan secara sistematis seperti
produk-produk gagal dalam sebuah siklus pabrikasi yang tidak lolos uji
kelayakan.
Padahal Tuhan telah memberikan
hidayah, anugerah kepada manusia sejak dari janin berupa sifat, kecenderungan, bakat
dan keunikan yang berbeda-beda setiap manusia, mempunyai potensi kreatifitas
masing-masing, bahkan kepada manusia yang lahir kembar sekalipun.
Namun, ketika kita lahir ke dunia
dan mulai memasuki institusi pendidikan keragaman anugerah dan hidayah itu justru
diruntuhkan oleh sekolah dengan melalui cara penyeragaman. Wallahu a’lam
bishowab.