Iklan

Rabu, 15 Desember 2021, 19.16.00 WIB
Last Updated 2021-12-16T03:16:45Z
Catetan DolanNyaba Desaunik

Membaca Toponomi

     

foto: Suasana di Kalibening Salatiga
foto: Kalibening, Salatiga

    Setiap kali melakukan perjalanan ke suatu tempat salah satu hal yang diingat-ingat atau masuk daftar list tempat yaitu mencari pasarean atau makam tokoh tertentu yang disepuhkan atau menggali cerita masyarakat yang menarik.


    Kemarin ketika berada di lereng gunung Merbabu, tepatnya di desa Kalibening, kecamatan Tingkir, Salatiga. Merasa terpantik dengan nama kecamatan sebenarnya, ketika pertama kali menginjak kaki di wilayah tersebut.

    Saya bertanya pada diri sendiri dan membatin, tentu ada hal menarik diulas dan digali dari segi nama tempat. Sebagaimana nama desa atau nama suatu wilayah adalah bagian dari yang disebut dengan prasasti. Dimana Prasasti yang masih abadi hingga sekarang salah satunya adalah nama sebuah desa. Nah metode inilah yang nantinya bisa disebut dengan pendekatan toponimi.

    Setelah menyusuri desa sembari melaksanakan tugas liputan mencari masyarakat sekitar untuk dijadikan narasumber, niatan sembari menggali berita terkait dengan pertanian sekaligus ingin bertanya dan mengulik toponimi sekitar dan makam tokoh yang disepuhkan. Namun informasi yang saya temukan belum mendapat jawaban yang puas, dan memang tujuan liputan tersebut memang fokus pada pertanian sesuai dengan penugasan menulis tema itu. Karena keterbatasan waktu tersebut saya alih-sampingkan pikiran untuk menelusuri jejak-jejak kabudan pending dahulu.

    Tetapi uniknya gayung bersambut baik ketika tidak disengaja sedang duduk sendiri sembari istirahat memikirkan konten, tiba-tiba ada 2 orang meghampiri ikut duduk disebelah saya. Basa-basi saya memperkenalkan nama, dan ngobrol tanpa disengaja salah satu dari mereka bercerita bahwa sedang ada rapat atau perkumpulan membahas makam di daerah itu. Merasa terpantik saya pun menyaut, “makam ipun sinten niku pak, ingkang njenengan wastani?” . “Kiai Abdul Wahid mas, beliau niku simbah e Gus Dur.” Bapak tersebut menjawab.

    “Wonten pundi niku lokasine nopo caket?” saya yang masih penasaran. “Wonten mriko mas, beliau menjelaskan rute menuju makam tersebut. Saya waktu itu hanya mengamini saja karena keterbatasan waktu dan sudah sore hampir petang juga masih mempunyai tanggungan liputan yang belum diketik apalagi lay out wkwk (ini hiperbola) jadi saya mengurungkan niat ziarah ke makam tersebut. Karena penasaran iseng mencoba blusukan via online dengan mencari informasi pada syaikh yang bercayaha: Syaikh Gugel. Akhirnya menemukan tempat yang dimaksud tadi.

    Dilansir dari berbagai artikel bahwa Mbah Abdul Wahid ini adalah mbah canggah dari KH Abdurrahmad Wahid atau Gus Dur, ya seperti yang dijelaskan orang saya temui. Dijelaskan Simbah Kiai Abdul Wahid sendiri merupakan putra dari Syekh Abdul Halim bin Syekh Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda) bin Syekh Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Syekh Abdurrohman yang berjuluk Joko Tingkir (Sultan Pajang) bin Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin), dst.

    Berawal dari sanad tu, maka jadi tidak asing jika daerah tersebut juga diberi nama dengan Tingkir, boleh jadi masih ada ikatan, trah, nasab dengan Joko Tingkir, dengan metode toponimi yang diulas diatas bisa nyambung. Namun saya tidak mau gegabah dan kemeruh(sok tau weruh, paham) itu sekadar hipotesa serta agar tidak subyektif informasi tentunya.

    Merasa senang dan bersyukur membaca pada kabar berita lain pun makam tersebut sudah dipugar, dan tentu ini adalah hal yang baik karena pastinya terawat. Semoga saja batu nisannya masih utuh tidak diganti dengan yang baru, karena ini penting untuk bisa dibaca dan digali dari batu maupun inskripsinya. Semoga dilain waktu dan kesempatan bisa berkunjung ke Salatiga lagi selain ke Qoryah Thayyibah juga ke tempat yang menarik lainnya. Wallahu a’lam bishowab.