Memasuki bulan Muharram menjadi
teringat sebuah syair dulu ketika masih sekolah SMA. Syairnya kurang lebih
seperti ini, “Sum Sholli Sil Zur Aliman ‘Ud Waktahil. Ro’sal Yatimimsah
Tashoddaq Waghtasil. Wassi‘ Alal Iyal Qollim Zhufro. Wasurotal Ikhlasi Qul
Alfan Tasil. Pasa Sholat silaturrahmi dilakoni...”
Kemarin, berziarah sowan ke Guru Tarekat
Qodiriyah di Candirejo Mojotengah Wonosobo, setelah sekian lama tak berkunjung
ke maqbaroh Syaikh Abdullah Quthbuddin. Sembari berjalan menuju makam memori
ingatan dulu mulai muncul dibenak pikiran, betapa asyiknya dulu berjalan
menyusuri desa-desa disapa hangatnya masyarakat sekitar.
Jalan yang berliku dan penuh gronjal
granjil-pun dinikmati dengan membawa harapan, dalam arti membawa bekal
tum-tuman atau telkem istilah disini dengan diisi nasi megono untuk bekal
selama perjalanan sowan ke makam penyebar tarekat di Wonosobo ini. Perlahan
mengingat jalanan yang dulu ditapaki banyak yang berubah tentunya dari
infrastruktur dan sebagainya, hanya satu yang belum berubah, yaitu kehangatan
atau sesrawungan orang desa setempat dan lingkungannya yang masih utuh, saling
menyapa-ngampirke. Hal inilah yang menjadi kebahagiaan ketika dolan kedesa-desa
dan bakal menjadi klangenan dan kekangenan tersendiri ketika di perantauan.
Setelah sampai di makam Sayyid
Abdullah Qutbuddin, dan berjalan tipis tipis mendekat maqbaroh kembali
mengingat posisi dan suasana sebelum dipugar seperti saat ini. Dulu merasa
asyik ketika ingin mencari tempat wudlu masih mencari ke mbelik atau mata air
sampai aliran air di sawah.
Salâmullâhi yâ sâdah minar-Rahmâni yaghsyâkum//'Ibâdallâhi
ji’nâkum qashadnâkum thalabnâkum//Tu'înûnâ tughîtsûnâ bihimmatikum wa
jadwâkum//Fa ahyûnâ wa a'thûnâ 'athâyâkum hadâyâkum//Falâ khayyabtumû dzannî
fahâsyâkum wahâsyâkum. Rekaman jejak masa lalu terlintas muncul kembali dengan
lantunan syair diatas ketika sowan Sayyid Abdullah Quthbuddin dulu dengan
ditemani gerimis seakan menambah nuansa kekhusyu’an tersendiri dan anggaplah
menjadi syahdu juga syair yang terpampang di saka atau penompang atap.
Makam beliau yang juga kholifah
Tarekat Qodiriyah terkesan sederhana, masih seperti sediakala dengan
dikelilingi keramik dan teralis disekitarnya. Namun, bukti bahwa beliau
merupakan orang alim terlihat dari batu nisan yang berbeda dengan lainnya. Di area
makam sekitar pun berserakan bebatuan kuno yang boleh jadi itu adalah bagian
dari pondok atau masjid yang didirikan beliau di masa lalu.
Sembari pulang seusai ziarah di
Candirejo, diperjalanan membayangkan bagaimana peradaban pada masa itu kayaknya
asyik dengan melihat kepingan saja merasa bersyukur semoga kita semua dapat
meneruskan perjuangan dari leluhur masa silam, dengan cara mendokumentasikan
atau menggali peran beliau untuk bekal yang akan mendatang sebab tentu banyak
keilmuan yang bisa digali dari sebuah peradaban.
Nah, tulisan ini menjadi tahaduts
binnikmah mengingat peristiwa kala itu dan sebagai catatan diantara puzzle berceceran
yang terus menerus dicari pasangan per kepingnya agar menjadi kesatuan cerita yang
menarik dan utuh. Wallahu a’lam bishowab.