Tulisan-tulisan dari mbak Kalis
dihimpun dalam sebuah buku fenomenal yang berjudul, Muslimah yang Diperdebatkan
tahun 2019. Kumpulan tulisannya lahir dari isu mutakhir dan dari berbagai
narasi keislaman yang membicarakan perempuan terlihat amat menakutkan. Gaya
tulisannya bernada sinis, tegas, dan tajam. Namun, diksi yang cukup mudah akan
mendorong pembaca membuat perenungan dan sudut pandang pemikiran tentang apa
yang menyoal perempuan. Di kalam pembuka Kalis telah mengakuinya sebagai,
“narasi kontra yang sering kali bernada sinis tehadap semuanya.”
Suara mbak Kalis hadir sebagai
bentuk ketidakterimaan pada tren hijrah ala seleb, hijab syar’i dan non syar’i,
pakem halal haram hijab, seminar pranikah, sampai hal-hal yang lebih serius
berkaitan dengan perempuan. Tulisan dalam isi buku ini memberi kesan bahwa ia
begitu kesal dengan siar-siar agamis yang selalu digaungkan terhadap perempuan.
Bahwa perempuan yang baik dan diidamkan harus menuruti nasihat dan perintah
yang seolah terkesan mengekang.
Kesetaraan dan keadilan, dua nilai fundamental dalam ajaran Islam,
menjadi isu utama dalam keseluruhan buku ini. Dengan gaya bertutur yang
sederhana, renyah, dan mudah dipahami, mbak Kalis mengajak pembacanya dengan
menawarkan sudut pandang kesetaraan gender dalam melihat dan menyikapi fenomena
keseharian, terutama muslimah milenial, dalam beragama. Tafsir terhadap teks
Islam yang merendahkan perempuan, menjadikan perempuan sebagai jenis kelamin
kedua, terutama yang diproduksi oleh sejumlah ustaz di media sosial, menjadi
bahan bakar dan media bagi mbak Kalis untuk menyalurkan gagasan-gagasannya.
Beberapa isu yang diangkat dalam hal ini di antaranya poligami, nikah siri,
pernikahan usia dini, dan kekerasan dalam rumah tangga.
“Perempuan,
kemudian menjadi sosok yang paling menentukan dalam kontestasi ini. Perempuan
yang terlalu terpapar dengan nilai-nilai keterbukaan dunia modern tentu menjadi
potret yang penuh dosa. Sebaliknya, perempuan yang tertutup, tidak banyak
bersinggungan dengan dunia luar yang sering kali dibalut dengan kalimat “mampu
menjaga kehormatan dirinya” adalah perempuan yang diharapkan oleh kelompok
Islam eksklusif ini.”
Berdakwah pada umumnya dimaknai
dengan mengajak manusia khususnya muslim untuk berbuat kebaikan, melaksanakan
syariat yang telah ditentukan dan menyesuaikan kepada siapa dan kepentingan
yang mau diajak. Saat ini, istilah hijrah menjadi fenomenal, contohnya disusul
dengan penjual yang menjual perabot tubuh yang diembel-embeli dengan kata
syar’i, beberapa artis yang baru saja berhijab dibilang hijrah.
Hal ini dapat kita anggap sebagai
keberhasilan para pendakwah yang dari awal menggunakan kekuatan internet dan
media sosial sebagai syarat dakwah. Unggahan yang bertuliskan ajakan untuk
hijab dan hijrah menjamur di kanal-kanal Youtube, video pendek di media sosial,
Instagram, dan website Islami.
Dalam esai pertama yang berjudul,
Curhat untuk Grilband Syar’i yang dimuat di mojok.co pada Desember 2015 yang
menceritakan pengalaman Kalis dalam berjilbab. Secara tersirat kita bisa
menyaksikan pada bagian ini bahwa bagaimana kelompok Islam eksklusif bisa
merambah di dunia pendidikan, seperti perguruan tinggi. Karena itu terdapat
perbedaan antara hijab syar’i dan non syar’i.
Beberapa orang meyakini ketika
muslimah mengenakan jilbab syar’i menurut keyakinan dirinya, ia sudah benar dan
menuruti syariat tetapi orang lain yang memandang beranggapan, jilbab syar’i
dibilang Islam garis keras. Hal ini juga ditandai dengan maraknya fenomena
hijrah, kelompok mahasiswa berkenakan hijab, kajian liqo’, dan berbagai acara
seminar Islami dengan tema-tema tertentu seperti menjadi perempuan berkarir
surga dan poligami.
“Hak bagi siapa saja perempuan untuk
mengenakan jilbab, baik itu politikus maupun bukan, harus bebas dari muatan
nilai. Ada baiknya jilbab dipandang dalam bentuknya yang paling fungsional
sebagai pakaian kesopanan.”
Di esai kedua, ia menulis Laporan
European Network Against Racism pada Agustus 2016 melaporkan bahwa lebih dari
50% perempuan yang mengenakan jilbab kehilangan kesempatan untuk berkipirah di
ruang publik karena alasan diskriminasi keagamaan. Hal ini sangat miris dan
remeh. Padahal jilbab di kepala perempuan tidak memiliki kuasa apapun. Bahwa
jilbab hanya sesuatu yang menunjukkan identitas sebagai muslimah.
Sedangkan di esai ketiga, mbak Kalis
menampakkan kesinisannya pada optimisme sebuah jilbab merek ZOYA merilis produk
jilbab halal bersertifikat MUI dan tak lupa memasang reklame iklan raksasa di
kota-kota besar dengan tagline “Yakin Hijab yang kita gunakan Halal?”. Dan
reklame semacam itu jelas-jelas mengecewakan “jilbab Paris sepuluh ribuan.”
Karena itu, Kalis sangat sanksi dari berbagai bisnis muslimah yang diiklankan
Ustaz seleb dadakan yang dengan angkuh menggemborkan pakem bahwa cantik itu
dengan berjilbab.
Adapun beberapa kasus hujatan juga menimpa
Rina Nose yang dihujat warganet karena melepas jilbab. Seruan Kalis turut
bersimpati dengan sekeras-kerasnya menyerukan judul esainya, Jilbabku Bukan
Simbol Kesalihan.
Di tahun 2019 Hijrah Fest menjadi
gerbang “hijrah”, istilah populer menyebut orang ingin kembali mempelajari
Islam dengan serius. Acara ini didirikan oleh para selebritis dan Ustaz media
sosial, diantaranya Teuku Wisnu, Arie Untung, Dimas Seto, Felix Siaw, Hannan
Attaki, dan banyak lagi. Acara hijrah seperti ini begitu populer sehingga
membuat sebuah tren seperti gaya hidup dan usaha syariah yang menghasilkan
penghasilan cukup memuaskan dan tentunya gaya hidup kapitalis.
Karena banyak pengusaha hijrah telah
meyakini bisnisnya sebagai jalan dakwah. Ariani Rudjito, pendiri aplikasi ponsel
Muslimnesia, aplikasi yang di dalamnya berisi jadwal kajian dan referensi
restoran halal. Sejauh ini, bisnisnya berhasil meningkat seiring perkembangan
kelas menengah muslim di tanah air dan telah direspons positif oleh publik. Jika kita lihat, dibalik semangat
hijrah yang kuat mereka juga menjadi pelaku usaha bisnis. Meskipun mereka
meyakini bisnisnya sebagai jalan dakwah, tetapi ada maksud lain yang ditujukan
yakni kapitalisasi yang menjadi keberhasilan bagi pelaku usaha hijrah.
“Mengapa perempuan selalu salah?
Mengapa ia tak boleh bicara? Mengapa perempuan harus menjadi pihak yang paling
ikhlas, paling sabar, dan paling tak boleh melawan?”
Muslimah yang Diperdebatkan
Penulis : Kalis Mardiasih
Penebrit : Buku Mojok, Yogyakarta
Cetakan 2019
xii + 202 hlm. 13,5 x 19.5 cm