Iklan

Selasa, 08 Juni 2021, 16.39.00 WIB
Last Updated 2021-06-08T23:39:41Z
Nge-book

Muslimah yang Diperdebatkan

 


 

Tulisan-tulisan dari mbak Kalis dihimpun dalam sebuah buku fenomenal yang berjudul, Muslimah yang Diperdebatkan tahun 2019. Kumpulan tulisannya lahir dari isu mutakhir dan dari berbagai narasi keislaman yang membicarakan perempuan terlihat amat menakutkan. Gaya tulisannya bernada sinis, tegas, dan tajam. Namun, diksi yang cukup mudah akan mendorong pembaca membuat perenungan dan sudut pandang pemikiran tentang apa yang menyoal perempuan. Di kalam pembuka Kalis telah mengakuinya sebagai, “narasi kontra yang sering kali bernada sinis tehadap semuanya.”

Suara mbak Kalis hadir sebagai bentuk ketidakterimaan pada tren hijrah ala seleb, hijab syar’i dan non syar’i, pakem halal haram hijab, seminar pranikah, sampai hal-hal yang lebih serius berkaitan dengan perempuan. Tulisan dalam isi buku ini memberi kesan bahwa ia begitu kesal dengan siar-siar agamis yang selalu digaungkan terhadap perempuan. Bahwa perempuan yang baik dan diidamkan harus menuruti nasihat dan perintah yang seolah terkesan mengekang.

Kesetaraan dan keadilan, dua nilai fundamental dalam ajaran Islam, menjadi isu utama dalam keseluruhan buku ini. Dengan gaya bertutur yang sederhana, renyah, dan mudah dipahami, mbak Kalis mengajak pembacanya dengan menawarkan sudut pandang kesetaraan gender dalam melihat dan menyikapi fenomena keseharian, terutama muslimah milenial, dalam beragama. Tafsir terhadap teks Islam yang merendahkan perempuan, menjadikan perempuan sebagai jenis kelamin kedua, terutama yang diproduksi oleh sejumlah ustaz di media sosial, menjadi bahan bakar dan media bagi mbak Kalis untuk menyalurkan gagasan-gagasannya. Beberapa isu yang diangkat dalam hal ini di antaranya poligami, nikah siri, pernikahan usia dini, dan kekerasan dalam rumah tangga.

“Perempuan, kemudian menjadi sosok yang paling menentukan dalam kontestasi ini. Perempuan yang terlalu terpapar dengan nilai-nilai keterbukaan dunia modern tentu menjadi potret yang penuh dosa. Sebaliknya, perempuan yang tertutup, tidak banyak bersinggungan dengan dunia luar yang sering kali dibalut dengan kalimat “mampu menjaga kehormatan dirinya” adalah perempuan yang diharapkan oleh kelompok Islam eksklusif ini.”

Berdakwah pada umumnya dimaknai dengan mengajak manusia khususnya muslim untuk berbuat kebaikan, melaksanakan syariat yang telah ditentukan dan menyesuaikan kepada siapa dan kepentingan yang mau diajak. Saat ini, istilah hijrah menjadi fenomenal, contohnya disusul dengan penjual yang menjual perabot tubuh yang diembel-embeli dengan kata syar’i, beberapa artis yang baru saja berhijab dibilang hijrah.

Hal ini dapat kita anggap sebagai keberhasilan para pendakwah yang dari awal menggunakan kekuatan internet dan media sosial sebagai syarat dakwah. Unggahan yang bertuliskan ajakan untuk hijab dan hijrah menjamur di kanal-kanal Youtube, video pendek di media sosial, Instagram, dan website Islami.

Dalam esai pertama yang berjudul, Curhat untuk Grilband Syar’i yang dimuat di mojok.co pada Desember 2015 yang menceritakan pengalaman Kalis dalam berjilbab. Secara tersirat kita bisa menyaksikan pada bagian ini bahwa bagaimana kelompok Islam eksklusif bisa merambah di dunia pendidikan, seperti perguruan tinggi. Karena itu terdapat perbedaan antara hijab syar’i dan non syar’i.

Beberapa orang meyakini ketika muslimah mengenakan jilbab syar’i menurut keyakinan dirinya, ia sudah benar dan menuruti syariat tetapi orang lain yang memandang beranggapan, jilbab syar’i dibilang Islam garis keras. Hal ini juga ditandai dengan maraknya fenomena hijrah, kelompok mahasiswa berkenakan hijab, kajian liqo’, dan berbagai acara seminar Islami dengan tema-tema tertentu seperti menjadi perempuan berkarir surga dan poligami.

“Hak bagi siapa saja perempuan untuk mengenakan jilbab, baik itu politikus maupun bukan, harus bebas dari muatan nilai. Ada baiknya jilbab dipandang dalam bentuknya yang paling fungsional sebagai pakaian kesopanan.”

Di esai kedua, ia menulis Laporan European Network Against Racism pada Agustus 2016 melaporkan bahwa lebih dari 50% perempuan yang mengenakan jilbab kehilangan kesempatan untuk berkipirah di ruang publik karena alasan diskriminasi keagamaan. Hal ini sangat miris dan remeh. Padahal jilbab di kepala perempuan tidak memiliki kuasa apapun. Bahwa jilbab hanya sesuatu yang menunjukkan identitas sebagai muslimah.

Sedangkan di esai ketiga, mbak Kalis menampakkan kesinisannya pada optimisme sebuah jilbab merek ZOYA merilis produk jilbab halal bersertifikat MUI dan tak lupa memasang reklame iklan raksasa di kota-kota besar dengan tagline “Yakin Hijab yang kita gunakan Halal?”. Dan reklame semacam itu jelas-jelas mengecewakan “jilbab Paris sepuluh ribuan.” Karena itu, Kalis sangat sanksi dari berbagai bisnis muslimah yang diiklankan Ustaz seleb dadakan yang dengan angkuh menggemborkan pakem bahwa cantik itu dengan berjilbab.

Adapun beberapa kasus hujatan juga menimpa Rina Nose yang dihujat warganet karena melepas jilbab. Seruan Kalis turut bersimpati dengan sekeras-kerasnya menyerukan judul esainya, Jilbabku Bukan Simbol Kesalihan.

Di tahun 2019 Hijrah Fest menjadi gerbang “hijrah”, istilah populer menyebut orang ingin kembali mempelajari Islam dengan serius. Acara ini didirikan oleh para selebritis dan Ustaz media sosial, diantaranya Teuku Wisnu, Arie Untung, Dimas Seto, Felix Siaw, Hannan Attaki, dan banyak lagi. Acara hijrah seperti ini begitu populer sehingga membuat sebuah tren seperti gaya hidup dan usaha syariah yang menghasilkan penghasilan cukup memuaskan dan tentunya gaya hidup kapitalis.

Karena banyak pengusaha hijrah telah meyakini bisnisnya sebagai jalan dakwah. Ariani Rudjito, pendiri aplikasi ponsel Muslimnesia, aplikasi yang di dalamnya berisi jadwal kajian dan referensi restoran halal. Sejauh ini, bisnisnya berhasil meningkat seiring perkembangan kelas menengah muslim di tanah air dan telah direspons positif oleh  publik. Jika kita lihat, dibalik semangat hijrah yang kuat mereka juga menjadi pelaku usaha bisnis. Meskipun mereka meyakini bisnisnya sebagai jalan dakwah, tetapi ada maksud lain yang ditujukan yakni kapitalisasi yang menjadi keberhasilan bagi pelaku usaha hijrah.

“Mengapa perempuan selalu salah? Mengapa ia tak boleh bicara? Mengapa perempuan harus menjadi pihak yang paling ikhlas, paling sabar, dan paling tak boleh melawan?”

 

Muslimah yang Diperdebatkan

Penulis : Kalis Mardiasih

Penebrit : Buku Mojok, Yogyakarta

Cetakan 2019

xii + 202 hlm. 13,5 x 19.5 cm