“Ah, sudara,
manusia ini kenal satu sama sama lain, tapi tidak dengan dirinya sendiri.
Memang tidak ada hasilnya untuk kemakmuran kita hendak mengenal diri, karena
dia takkan menghasilkan kekayaan”
-Pramoedya Ananta Toer-
Ini adalah novel yang getir.
Kepedihan demi kepedihan memalu Midah tak ada habisnya. Tapi, perempuan itu
melawan meskipun terus tumbang. Sebab, perlawanan bukan soal kalah-menang, tapi
soal keyakinan kepada cinta.
Meskipun novel lama, tetapi pesan
novel ini bisa diterapkan dalam kehidupan sekarang. Bawasannya perhatian
keluarga terhadap seorang anak itu sangat penting untuk tumbuh kembang anak ke-depan.
Midah Simanis Bergigi Emas sebuah
novel ringan yang mengisahkan seorang
anak dari orang yang alim taat agama dan fanatik terhadap lagu-lagu
arab, lagu Umi Kultsum dengan kulit kuning, berwajah bulat, cantik, bersuara
lentik, dan berhati baja dari daerah Cibatok.
Ia berpetualang di jalanan dan
meninggalkan rumah karena ketidakadilan pengasuhan dalam keluarga dengan
berlatar tempat Djakarta era 50-an. Awalnya ia merupakan anak tunggal, namun
ketika berumur lebih dari sepuluh tahun adik-adik mulai hadir dalam
kehidupannya dan mencuri perhatian bapaknya hingga akhirnya ia di sepelekan
oleh bapaknya.
Novel karya Pramoedya Ananta Toer
ini bukan cerita klise seorang gadis malang bersua pangeran tampan nan baik
hati, dan hidup pun bahagia selamanya. Midah memang bukan perempuan yang gampang
pasrah. Dia melawan; melawan ayahnya yang legalistik, melawan suaminya yang
cuma memperlakukannya bak harem, dan melawan pandangan sok moralis masyarakat.
Tapi, tak ada kemenangan di akhir perlawanan.
Novel ini memberi gambaran tentang
kondisi sosial masyarakat pada saat itu masih bisa kita saksikan saat ini.
Perbedaan antara kalangan kaya dan miskin begitu tajam. Kehidupan di Ibukota
pun dilukiskan keras dan kasar.
Bermula dari ketidakadilan dalam
keluarga memulai kisah yang ganas dalam kehidupan jalanan. Perempuan yang kalah
moral karena tak mampu mempertahankan kehormatannya tetapi ia tetap bersikap
santun pada orangtua melingkupi novel garapan Mbah Pram ini.
Bapak yang berpaham fanatisme dan
mengharam-haramkan keroncong menggambarkan kerdilnya paradigma orang yang
kurang luas pengetahuannya. Kurangnya sikap humanisme pada sesama kiranya juga
ingin disampaikan oleh penulis dalam novel ini. Ketidakadilan membuat manusia
berulah untuk mendapatkan perhatian yang direnggut oleh orang lain. Meskipun
perempuan seorang Midah tetap berusaha bersikap tangguh di jalanan walaupun
berakhir tergilisnya moral di jalanan.
Karena tidak bertah, Midah sering
keluar rumah dan biasanya pulang sore atau bahkan malam hari. Begitu
seterusnya. Tapi orang tuanya seakan tidak perduli dengan dirinya. Situasi
tidak berubah sama sekali. Ini makin membetahkan midah untuk bermain-main
dijalanan. Di jalanan itulah Midah terpikat dengan pengamen keliling. Terutama
lagu-lagu keroncong yang mereka bawakan. Midah senang sekali dengan keroncong.
Ia ternyata sudah bosan dengan Umi Kalsum. Dibelinya beberapa piringan hitam
keroncong.
Sesingkat itu Midah sudah hafal
semua isinya. Lagu jali jali, bengawan solo katakanlah khatam oleh Midah. Hingga
saat itu lah ia kepergok ayahnya. Ia dihajar habis-habisan gara-gara
mendengarkan lagu haram dirumah. Diantara rasa takut berkecamuk di hati, Midah
menyimpan benci kepada ayahnya. Ibunya juga tak bisa berbuat apa-apa.
Sampailah suatu hari ketika ayahnya
ingin menikahkan Midah dengan laki-laki pilihan ayahnya. Dan syaratnya
laki-laki itu berasal dari Cibatok, desa ayahnya, berharta, dan taat beragama.
Setelah tiga bulan perkawinan, Midah lari dari suaminya, Hadji Terbus, dengan
membawa beban hamil karena tahu bahwa Hadji Terbus memiliki banyak istri. Ia
tersesat ditengah ramainya jalanan Jakarta tahun 50-an.
Dalam pelarian itulah Mbah Pramoedya,
saya menyebut beliau dengan mbah Pram, menggambarkan perempuan muda ini begitu
kuatnya untuk bertahan hidup. Perempuan yang tidak mudah menyerah dengan
kerasnya Jakarta.
Walaupun ia hanya menjadi penyanyi
dengan panggilan simanis bergigi emas dalam kelompok pengamen keliling dari
satu resto ke resto lainnya, ibaratnya menggelandang-mengembara. Dengan
kandungan yang semakin membesar dari hari kehari, Midah memang tampak
kelelahan. Tapi manusia tidak boleh menyerah pada kelelahan.
Lewat novel ringan ini, mbah Pram
memperlihatkan ketegangan antara jiwa seorang yang humanis dan moralitas.
Disatu sisi Pramoedya ingin menegaskan kekuatan seorang perempuan berjiwa dan
berpribadi kuat melawan ganasnya kehidupan.
Seorang perempuan yang tak mudah
ditaklukan oleh apa pun. Tapi di sisi lain ingin memperlihatkan kebusukan kaum
moralis lewat tokoh Hadji Trebus, juga Hadji Abdul yang hanya rajin zikir tapi
miskin citarasa kemanusiaan.
Lanjut, Midah bertemu dan mencintai
Ahmad, seorang polisi muda, dan begitu pula Ahmad. Tapi, laki-laki itu
pengecut. Dia hanya berani melampiaskan birahi terhadap Midah di sebuah rumah
sewaan; di tengah jerit tangis bayi Midah, Rodjali. Dia takut menikahi Midah
karena perempuan itu cuma pengamen keroncong jalanan. Keluarga, kolega kerja,
dan masyarakat pada umumnya tak akan pernah ramah dengan pernikahan semacam
ini.
Polisi itu kemudian bahkan menolak
mengakui bayi yang menghuni rahim Midah. Ia menuduh perempuan malang itu telah
tidur dengan lelaki lain. Midah yang tampak adalah wajah seorang biduan
ternama. Tapi, Midah yang tersembunyi adalah sejarah kepedihan seorang
perempuan di hadapan kejumudan dan kekakuaan masyarakat feodal dan patriarki.
Midah Si Manis Bergigi Emas, judul
novel ini, bak parade kegetiran hidup seorang perempuan. Midah pernah nyaris
diperkosa kala sedang hamil tua. Ia terpaksa membawa pergi bayinya yang baru
lahir dalam keadaan telanjang. Pihak rumah sakit dengan tega memberikan pakaiannya
si bayi menjadi milik Midah. Dia mengamen dari restoran ke restoran, dari pintu
ke pintu rumah, sambil mengendong bayinya.
Midah tak pernah menyesali
perlawanan itu. Perlawanan itu justru sesuatu yang harus ia lakukan karena keyakinannya
pada cinta. Novel ini menggambarkan bahwa aturan atau kemapanan, baik itu yang
berasal dari pandangan keagamaan atau buatan yang terjadi pada dirinya sendiri,
akan gagal menghadirkan kebahagiaan dan malah bakal merusak dan menyengsarakan
kehidupan jika diterapkan tanpa cinta, kasih sayang, dan empati. Haji Abdul
adalah gambaran yang jangkep nan kumplit.
Ia awalnya sangat legalistik; cuma
tahu halal-haram tanpa pemahaman makna di balik itu (dia bahkan tak tahu bahasa
Arab sama sekali). Kekakuannya dalam beragama tak jarang malah membuatnya serba
gelisah. Dia selalu cemas mengenai sesuatu yang berbeda; sesuatu yang
menurutnya akan menodai iman. Dia bahkan kerap memikirkan penilaian Tuhan atas
perasaannya sendiri.
Haji Abdul belakangan tenggelam
dalam tasawuf saat berbagai cobaan menderanya, dari kemunduran usaha hingga
kehilangan Midah. Di titik ini, dia menyadari bahwa sikap keberagamaannya yang
dulu justru lahir dari ketidakpercayaannya akan kebesaran Tuhan.
“Dahulu aku
takut penyakit karena itu aku jatuh jadi kurbannya. Sekarang tidak. Aku tidak
takut penyakit. Aku hanya takut pada Tuhan yang mahabesar.”