Iklan

Selasa, 13 April 2021, 02.43.00 WIB
Last Updated 2021-04-13T09:45:39Z
NgabubureadNge-book

Ngabuburead: Perempuan di Titik Nol

 


Perempuan di Titik Nol adalah sebuah buku yang mengguncang batin siapa pun yang membacanya. Ditulis dengan judul Women at Point Zero oleh Nawal el-Sadawi. Di Indonesia, buku ini diterjemahkan oleh Amir Sutaarga dan diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia yang concern mengangkat karya-karya sastra dari negara berkembang, termasuk sastra Arab.

Pertama kali membaca novel Perempuan di Titik Nol adalah ketika saya masih di kontrakan Semarang akhir tahun lalu, selama beberapa bulan saya katakanlah ‘kulak’ info, gabut yo jelas, wkw atau mecari informasi dengan membaca buku. Ketemulah dengan buku ini, cukup singkat saya mengkhatamkan Novel ini yang didasari pada kisah nyata.

Ditulis oleh Nawal el-Saadawi, seorang penulis feminis dari Mesir dengan reputasi Internasional ini. Dari lembar per lembar saya menikmati dengan ngeteh as* di lantai tiga kontrakan ketika masih kuliah daring kala itu. Mengapa saya pilih nge-teh? Karena sedang suluk ngeteh wkw. Katanya ngeteh adalah simbol dari Njawani, maka dari itu ketika membaca teks barat kita selingi dengan ngeteh biar tetap nJawani. Misalnya.

Kelahiran buku ini diilhami dari kisah nyata seorang perempuan yang ditemuinya di penjara Qanatir. Melalui Perempuan di Titik Nol, Nawal mengisahkan liku-liku kehidupan Firdaus dari masa kecilnya di desa hingga menjadi pelacur kelas atas di kota Kairo. Di dalam penjara, tak sedikitpun ia gentar akan kematian.

Bahkan, ia menyambut dengan sukacita hukuman gantung itu. Saat ada kesempatan untuk mengajukan grasi kepada presiden, ia dengan tegas menolak. Menurut Firdaus, vonis itu justru merupakan satu-satunya jalan menuju kebenaran sejati. “Setiap orang harus mati. Saya lebih suka mati karena kejahatan yang saya lakukan daripada mati untuk kejahatan yang kau lakukan.” (PdTN: 169)

Nawal menggambarkan situasi khas patriakhis dalam kehidupan Firdaus, sang tokoh Perempuan di Titik Nol ini sebagai berikut: “Ketika saya bertambah besar sedikit, Ayah meletakkan mangkuk itu di tangan saya dan mengajari bagaimana cara membasuh kakinya dengan air. Sekarang saya telah menggantikan Ibu untuk melakukan pekerjaan yang biasa dilakukannya. Ibu tidak ada lagi, malahan ada seorang perempuan lain yang memukul tangan saya dan mengambil-alih mangkuk itu. Ayah berkata, bahwa dia adalah Ibu saya.”

Fokus novel ini kemudian adalah penceritaan tentang kisah hidup perempuan bernama Firdaus yang memilih jalan hidupnya menjadi seorang pelacur. Saat kecil, Firdaus adalah seorang anak perempuan yang penurut dan pintar, hidup dalam keluarga miskin dengan seorang ayah yang lebih mementingkan dirinya sendiri daripada anaknya. Firdaus kecil selalu membantu ibunya menggilas gandum, mengambil air dan memberi makan ternak di kebun. Namun, sejak masa kecil ini pulalah ia mendapatka perlakuan tak senonoh dari teman dan pamannya.

Saat ayah dan ibunya telah meninggal, ia dibawa oleh pamannya ke Kairo dan disekolahkan pada asrama putri disana. Setelah selesai sekolah menengah pertama, ia kembali ke rumah pamannya dan mendapati bahwa pamannya telah menikah dan memiliki anak. Atas kekhawatiran istri pamannya, Firdaus dinikahkan dengan seorang pensiunan tua yang memiliki bisul di dagu yang penuh dengan nanah dan darah.

Setelah merasa sangat tersiksa, ia memutuskan untuk pergi dari rumah suaminya dan mencari pekerjaan. Namun, pekerjaan tak kunjung ia dapatkan dengan ijazahnya. Ia lalu ditolong oleh seorang laki-laki dan menginap dirumahnya.

Namun, mereka berlaku layaknya suami istri. Firdaus tidak nyaman dengan hubungannya. Ia lalu memberontak pergi meskipun sempat beberapa kali menerima siksaan dari laki-laki tersebut. Pelarian itu akhirnya mempertemukan nya dengan seorang germo yang memperkerjakannya sebagai pelacur.

Hari-harinya dihabiskan untuk melayani tiap laki-laki yang menjadi pelanggan. Meskipun begitu, ia cukup profesional dengan tidak mencampuradukkan antara hati dan pekerjaanya. Hingga suatu saat ia melayani seorang laki-laki yang menyadarkannya bahwa ia hanya menjadi mesin pencetak uang untuk germo yang memperkerjakannya.

Kondisi inilah yang menyadarkan Firdaus, ia kembali pergi dan memulai hidup dengan menjadi seorang pelacur yang sukses. Namun, semua berubah saat ia bertemu seorang germo yang mengancam jika tidak menjadi pekerjanya maka ia akan masuk penjara.

Firdaus pun terpaksa menjadi pekerjanya, ia harus membagi bayarannya dengan bagian germo tersebut yang lebih banyak. Bosan dengan perlakuan dan tindakan yang semena-mena, Firdaus hendak melarikan diri namun saat ditahan ia diancam dengan sebuah pisau. Namun, yang terjadi adalah kebalikannya.

 Ia membunuh germo itu dengan menancapkan pisau itu berkali-kali ditubuhnya. Saat kembali dipinta melayani seorang pangeran, ia kemudian tertangkap oleh polisi hingga menyebabkannya mendekam dipenjara dengan hukuman gantung.

Buku ini memberi alur cerita yang gamblang, seolah pembaca benar-benar menjadi pemeran utama dalam tokohnya. Novel ini tidak seperti novel terjemahan lainnya yang tebal dan menghabiskan waktu lama untuk dibaca, novel ini ringan hanya berkisar 176 halaman.

Sayangnya, karena buku ini merupakan buku terjemahan, jadi pembaca diharuskan berfikir dua kali untuk lanjut ke cerita berikutnya. Sampul bukunya juga kurang menarik. Alur cerita yang ditawarkan maju-mundur jadi mempersulit pembaca, kalimatnya pun banyak yang diulang-ulang. Begitulah efek dari membaca buku terjemahan.

Namun novel ini sebagai karya sastra memiliki kekhasan tersendiri. Ia menyajikan sebagian besar episode yang dialami oleh tokoh utama dalam kehidupannya. Novel juga mengandung ideologi yang diciptakan oleh pengarang dalam prosesnya memahami realitas untuk memberikan pemahaman pada pembacanya.

Membaca kedalaman makna dari sebuah novel akan memberikan pengetahuan baru bagi kita tentang dunia yang dipahami oleh pengarang. Novel ini syarat akan muatan ideologi feminisme liberal yang tercermin melalui tokoh utama, salah satu kutipan tokoh utamanya nan menarik menurut saya adalah “seorang pelacur yang professional lebih baik daripada seorang alim yang sesat”.

Data/Identitas Buku

Judul Buku : Perempuan di Titik Nol

Penulis : Nawal el – Saadawi

Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Penerjemah : Amir Sutaarga

Pengantar : Mochtar Lubis Ketebalan Buku : xxiv + 176 hlm

Cetakan Ke- : 11 Tahu Terbit : April 2014