Perempuan di Titik Nol adalah sebuah
buku yang mengguncang batin siapa pun yang membacanya. Ditulis dengan judul Women
at Point Zero oleh Nawal el-Sadawi. Di Indonesia, buku ini diterjemahkan
oleh Amir Sutaarga dan diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Pustaka Obor
Indonesia yang concern mengangkat karya-karya sastra dari negara berkembang,
termasuk sastra Arab.
Pertama kali membaca novel Perempuan
di Titik Nol adalah ketika saya masih di kontrakan Semarang akhir tahun lalu,
selama beberapa bulan saya katakanlah ‘kulak’ info, gabut yo jelas, wkw atau
mecari informasi dengan membaca buku. Ketemulah dengan buku ini, cukup singkat
saya mengkhatamkan Novel ini yang didasari pada kisah nyata.
Ditulis oleh Nawal el-Saadawi,
seorang penulis feminis dari Mesir dengan reputasi Internasional ini. Dari
lembar per lembar saya menikmati dengan ngeteh as* di lantai tiga kontrakan
ketika masih kuliah daring kala itu. Mengapa saya pilih nge-teh? Karena sedang
suluk ngeteh wkw. Katanya ngeteh adalah simbol dari Njawani, maka dari itu
ketika membaca teks barat kita selingi dengan ngeteh biar tetap nJawani. Misalnya.
Kelahiran buku ini diilhami dari
kisah nyata seorang perempuan yang ditemuinya di penjara Qanatir. Melalui
Perempuan di Titik Nol, Nawal mengisahkan liku-liku kehidupan Firdaus dari masa
kecilnya di desa hingga menjadi pelacur kelas atas di kota Kairo. Di dalam
penjara, tak sedikitpun ia gentar akan kematian.
Bahkan, ia menyambut dengan sukacita
hukuman gantung itu. Saat ada kesempatan untuk mengajukan grasi kepada
presiden, ia dengan tegas menolak. Menurut Firdaus, vonis itu justru merupakan
satu-satunya jalan menuju kebenaran sejati. “Setiap orang harus mati. Saya
lebih suka mati karena kejahatan yang saya lakukan daripada mati untuk
kejahatan yang kau lakukan.” (PdTN: 169)
Nawal menggambarkan situasi khas
patriakhis dalam kehidupan Firdaus, sang tokoh Perempuan di Titik Nol ini
sebagai berikut: “Ketika saya bertambah besar sedikit, Ayah meletakkan mangkuk
itu di tangan saya dan mengajari bagaimana cara membasuh kakinya dengan air.
Sekarang saya telah menggantikan Ibu untuk melakukan pekerjaan yang biasa
dilakukannya. Ibu tidak ada lagi, malahan ada seorang perempuan lain yang
memukul tangan saya dan mengambil-alih mangkuk itu. Ayah berkata, bahwa dia
adalah Ibu saya.”
Fokus novel ini kemudian adalah
penceritaan tentang kisah hidup perempuan bernama Firdaus yang memilih jalan
hidupnya menjadi seorang pelacur. Saat kecil, Firdaus adalah seorang anak
perempuan yang penurut dan pintar, hidup dalam keluarga miskin dengan seorang
ayah yang lebih mementingkan dirinya sendiri daripada anaknya. Firdaus kecil
selalu membantu ibunya menggilas gandum, mengambil air dan memberi makan ternak
di kebun. Namun, sejak masa kecil ini pulalah ia mendapatka perlakuan tak
senonoh dari teman dan pamannya.
Saat ayah dan ibunya telah
meninggal, ia dibawa oleh pamannya ke Kairo dan disekolahkan pada asrama putri
disana. Setelah selesai sekolah menengah pertama, ia kembali ke rumah pamannya
dan mendapati bahwa pamannya telah menikah dan memiliki anak. Atas kekhawatiran
istri pamannya, Firdaus dinikahkan dengan seorang pensiunan tua yang memiliki
bisul di dagu yang penuh dengan nanah dan darah.
Setelah merasa sangat tersiksa, ia
memutuskan untuk pergi dari rumah suaminya dan mencari pekerjaan. Namun,
pekerjaan tak kunjung ia dapatkan dengan ijazahnya. Ia lalu ditolong oleh
seorang laki-laki dan menginap dirumahnya.
Namun, mereka berlaku layaknya suami
istri. Firdaus tidak nyaman dengan hubungannya. Ia lalu memberontak pergi
meskipun sempat beberapa kali menerima siksaan dari laki-laki tersebut.
Pelarian itu akhirnya mempertemukan nya dengan seorang germo yang
memperkerjakannya sebagai pelacur.
Hari-harinya dihabiskan untuk
melayani tiap laki-laki yang menjadi pelanggan. Meskipun begitu, ia cukup
profesional dengan tidak mencampuradukkan antara hati dan pekerjaanya. Hingga
suatu saat ia melayani seorang laki-laki yang menyadarkannya bahwa ia hanya
menjadi mesin pencetak uang untuk germo yang memperkerjakannya.
Kondisi inilah yang menyadarkan
Firdaus, ia kembali pergi dan memulai hidup dengan menjadi seorang pelacur yang
sukses. Namun, semua berubah saat ia bertemu seorang germo yang mengancam jika
tidak menjadi pekerjanya maka ia akan masuk penjara.
Firdaus pun terpaksa menjadi
pekerjanya, ia harus membagi bayarannya dengan bagian germo tersebut yang lebih
banyak. Bosan dengan perlakuan dan tindakan yang semena-mena, Firdaus hendak
melarikan diri namun saat ditahan ia diancam dengan sebuah pisau. Namun, yang
terjadi adalah kebalikannya.
Ia membunuh germo itu dengan menancapkan pisau
itu berkali-kali ditubuhnya. Saat kembali dipinta melayani seorang pangeran, ia
kemudian tertangkap oleh polisi hingga menyebabkannya mendekam dipenjara dengan
hukuman gantung.
Buku ini memberi alur cerita yang
gamblang, seolah pembaca benar-benar menjadi pemeran utama dalam tokohnya.
Novel ini tidak seperti novel terjemahan lainnya yang tebal dan menghabiskan
waktu lama untuk dibaca, novel ini ringan hanya berkisar 176 halaman.
Sayangnya, karena buku ini merupakan
buku terjemahan, jadi pembaca diharuskan berfikir dua kali untuk lanjut ke
cerita berikutnya. Sampul bukunya juga kurang menarik. Alur cerita yang
ditawarkan maju-mundur jadi mempersulit pembaca, kalimatnya pun banyak yang
diulang-ulang. Begitulah efek dari membaca buku terjemahan.
Namun novel ini sebagai karya sastra
memiliki kekhasan tersendiri. Ia menyajikan sebagian besar episode yang dialami
oleh tokoh utama dalam kehidupannya. Novel juga mengandung ideologi yang
diciptakan oleh pengarang dalam prosesnya memahami realitas untuk memberikan
pemahaman pada pembacanya.
Membaca kedalaman makna dari sebuah
novel akan memberikan pengetahuan baru bagi kita tentang dunia yang dipahami
oleh pengarang. Novel ini syarat akan muatan ideologi feminisme liberal yang
tercermin melalui tokoh utama, salah satu kutipan tokoh utamanya nan menarik
menurut saya adalah “seorang pelacur yang professional lebih baik daripada
seorang alim yang sesat”.
Data/Identitas Buku
Judul Buku : Perempuan di Titik Nol
Penulis : Nawal el – Saadawi
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor
Indonesia
Penerjemah : Amir Sutaarga
Pengantar : Mochtar Lubis Ketebalan
Buku : xxiv + 176 hlm
Cetakan Ke- : 11 Tahu Terbit : April
2014