AYAT-AYAT API: PUISI SAPARDI SELAIN HUJAN
Oleh: Mayaologi*
Identitas
Buku
Pengarang : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Gramedia
Tahun
Terbit : 2017
ISBN : 978-602-03-3953-5
Sapardi Djoko Damono, penyair sekaligus sastrawan Tanah Air yang
puisi romantiknya biasa termuat dalam surat undangan nan sakral, dan berbagai
kartu ucapan pada kado antar kekasih. Sedikitnya saya sebut satu puisinya
berjudul “Aku Ingin”, yaitu puisi cinta yang dapat menimbulkan suasana haru dan
romantis bagi siapapun yang membacanya. Melalui imaji perasaan dalam baris “Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana” dapat menunjukkan rasa mencintai dengan apa
adanya dan penuh ketulusan.
Namun pada karyanya yang berjudul “Ayat-Ayat Api”, saya menemukan
wajah yang berbeda dari Sapardi. Mengapa ia mengangkat “api” sebagai unsur
sentral buku ini? Padahal biasanya ia akrab dengan hujan. Selama ini, mungkin
saya mengenal Sapardi sebagai seorang maestro yang mengabadikan romantisme
melalui puisi. Hal tersebutlah yang kadang melahirkan stereotip bahwa puisi hanya
soal cinta dan kasih.
Antologi yang memuat protes sosial ini menjadi menarik karena
banyak sebagian karya yang benar-benar terjadi. Dua diantaranya berjudul
“Dongeng Marsinah” dan “Tentang Mahasiswa yang Mati, 1996”. Puisi “Dongeng
Marsinah” memang betul-betul menggetarkan. Marsinah ialah seorang buruh
pabrik asal Sidoarjo, Jawa Timur, diduga dibunuh oleh oknum militer pada 8
Mei 1993 silam. Mengapa Marsinah sampai harus dibunuh? Ia meminta perusahaan
tempatnya bekerja untuk menaikkan upah buruh, sesuai surat edaran gubernur,
namun permintannya ditolak. Marsinah lalu melakukan unjuk rasa bersama rekan
lainnya untuk memperjuangkan haknya, namun ternyata harus berakhir naas.
Selain itu, dalam antologinya Sapardi ada satu puisi berjudul “Tentang
Mahasiswa yang Mati, 1996”. Dari judulnya saja saya sudah merasa tidak asing
dengan peristiwa tersebut. Tragedi Trisakti menjadi simbol dan penanda
perlawanan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru hingga menewaskan empat
mahasiswa dalam penembakan peserta demonstrasi. Bentuk kepekaan sosial yang
dituangkan dalam puisi terkadang memang lebih ironi. Hingga saat ini peristiwa
penembakan masih menjadi bagian dari sejarah kelam negeri ini.
Citraan yang sering dimunculkan pengarang di dalam puisi tersebut adalah citraan penglihatan, terlihat jelas puisi-puisi tersebut cenderung menggambarkan tentang kehidupan sosial yang dilihatnya dalam suatu peristiwa. Pemajasan dalam kedua puisi tersebut pun sangat kental, pengarang mendayagunakan bahasa kias sebagai sarana retorika yang mampu menghidupkan pengambaran dari karyanya.
Seperti pada penggalan “Marsinah itu
arloji sejati” diidentifikasi sebagai majas metafora yang memiliki makna
arloji sejati tentu saja kinerja sosok Marsinah yang dapat diperbandingkan
secara implisit dengan arloji. Ia datang kerja tepat waktu, pulang kerja tepat
waktu, dan mungkin saja ia tak pernah membolos dalam bekerja. Ia terus menerus
bekerja tak kenal lelah memintal kefanaan yang abadi.
Meskipun tampil dalam wajah baru, saya merasakan berberat hati pada
cara penulisan pengarang yang masih tidak bisa lepas dari gaya
kehujan-hujanannya atau penggunaan kiasan yang tak ada bedanya dari reromantika
yang biasa ia tulis, mungkin akan semakin menarik bila penulisan diberi polesan
yang agak keluar dari circlenya menyesuaikan dengan tema yang diangkat. Pada
sisi lain mungkin hal tersebutlah yang manandakan ciri khas dari seorang
Sapardi Djoko Damono. Bukan masalah pelik.
*Penulis yang mengaku anonim atau biasa dipanggil Maya ini sedang menggelandang mencari pengalaman di kota tetangga, seorang calon penyair ini juga dapat di temui di blog pribadinya.
https://jalangkiri.blogspot.com/