Iklan

Senin, 08 Maret 2021, 19.18.00 WIB
Last Updated 2021-03-09T03:28:51Z
Nge-book

Ayat-Ayat Api: Puisi Sapardi Selain Hujan

@Mayaologi


AYAT-AYAT API: PUISI SAPARDI SELAIN HUJAN

Oleh: Mayaologi*

 

Identitas Buku

Pengarang       : Sapardi Djoko Damono

Penerbit           : Gramedia

Tahun Terbit    : 2017

ISBN               : 978-602-03-3953-5

 

Sapardi Djoko Damono, penyair sekaligus sastrawan Tanah Air yang puisi romantiknya biasa termuat dalam surat undangan nan sakral, dan berbagai kartu ucapan pada kado antar kekasih. Sedikitnya saya sebut satu puisinya berjudul “Aku Ingin”, yaitu puisi cinta yang dapat menimbulkan suasana haru dan romantis bagi siapapun yang membacanya. Melalui imaji perasaan dalam baris “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana” dapat menunjukkan rasa mencintai dengan apa adanya dan penuh ketulusan.

 

Namun pada karyanya yang berjudul “Ayat-Ayat Api”, saya menemukan wajah yang berbeda dari Sapardi. Mengapa ia mengangkat “api” sebagai unsur sentral buku ini? Padahal biasanya ia akrab dengan hujan. Selama ini, mungkin saya mengenal Sapardi sebagai seorang maestro yang mengabadikan romantisme melalui puisi. Hal tersebutlah yang kadang melahirkan stereotip bahwa puisi hanya soal cinta dan kasih.

 

Antologi yang memuat protes sosial ini menjadi menarik karena banyak sebagian karya yang benar-benar terjadi. Dua diantaranya berjudul “Dongeng Marsinah” dan “Tentang Mahasiswa yang Mati, 1996”. Puisi “Dongeng Marsinah” memang betul-betul menggetarkan. Marsinah ialah seorang buruh pabrik asal Sidoarjo, Jawa Timur, diduga dibunuh oleh oknum militer pada 8 Mei 1993 silam. Mengapa Marsinah sampai harus dibunuh? Ia meminta perusahaan tempatnya bekerja untuk menaikkan upah buruh, sesuai surat edaran gubernur, namun permintannya ditolak. Marsinah lalu melakukan unjuk rasa bersama rekan lainnya untuk memperjuangkan haknya, namun ternyata harus berakhir naas.

 

Selain itu, dalam antologinya Sapardi ada satu puisi berjudul “Tentang Mahasiswa yang Mati, 1996”. Dari judulnya saja saya sudah merasa tidak asing dengan peristiwa tersebut. Tragedi Trisakti menjadi simbol dan penanda perlawanan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru hingga menewaskan empat mahasiswa dalam penembakan peserta demonstrasi. Bentuk kepekaan sosial yang dituangkan dalam puisi terkadang memang lebih ironi. Hingga saat ini peristiwa penembakan masih menjadi bagian dari sejarah kelam negeri ini.

 

Citraan yang sering dimunculkan pengarang di dalam puisi tersebut adalah citraan penglihatan, terlihat jelas puisi-puisi tersebut cenderung menggambarkan tentang kehidupan sosial yang dilihatnya dalam suatu peristiwa. Pemajasan dalam kedua puisi tersebut pun sangat kental, pengarang mendayagunakan bahasa kias sebagai sarana retorika yang mampu menghidupkan pengambaran dari karyanya. 

Seperti pada penggalan “Marsinah itu arloji sejati” diidentifikasi sebagai majas metafora yang memiliki makna arloji sejati tentu saja kinerja sosok Marsinah yang dapat diperbandingkan secara implisit dengan arloji. Ia datang kerja tepat waktu, pulang kerja tepat waktu, dan mungkin saja ia tak pernah membolos dalam bekerja. Ia terus menerus bekerja tak kenal lelah memintal kefanaan yang abadi.

Meskipun tampil dalam wajah baru, saya merasakan berberat hati pada cara penulisan pengarang yang masih tidak bisa lepas dari gaya kehujan-hujanannya atau penggunaan kiasan yang tak ada bedanya dari reromantika yang biasa ia tulis, mungkin akan semakin menarik bila penulisan diberi polesan yang agak keluar dari circlenya menyesuaikan dengan tema yang diangkat. Pada sisi lain mungkin hal tersebutlah yang manandakan ciri khas dari seorang Sapardi Djoko Damono. Bukan masalah pelik.


*Penulis yang mengaku anonim atau biasa dipanggil Maya ini sedang menggelandang mencari pengalaman di kota tetangga, seorang calon penyair ini juga dapat di temui di blog pribadinya.

  https://jalangkiri.blogspot.com/