Kalibeber secara geografis, merupakan
sebuah kelurahan yang dibatasai oleh 2 buah sungai, yakni Sungai Serayu (Barat)
dan Sungai Prupuk (Timur) ada juga Kaliireng, dan Desa Wonokromo (Utara) serta
Desa Sukorejo (Selatan). Secara Administratif, Kalibeber merupakan ibu kota
kecamatan Mojotengah. Kalibeber saat ini, sungguh jauh berbeda dengan kondisi
diakhir tahun 1980 an. Sebelum tahun 1990 an kalibeber lebih identik dengan masarakat
tradisionalis dalam pola kehidupannya, tidak jauh dengan kondisi pedesaan umumnya
di Indonesia.
Namun Kalibeber saat ini, sungguh
kontras dengan decade 90an awal. Saat ini Lebih terkesan masyarakat Kalibeber
sebagai daerah yang cukup maju bahkan mengungguli daerah yang lainnya. Mulai
dari cara berfikir, pola kehidupan serta pola interaksinya, dan kondisi ekonomi
masyarakatnya.
Secara kasat mata dapat terlihat
bentuk bangunan rumah penduduknya, bahkan pemahaman ajaran agamanya menunjukkan
masyarakat yang mengalami pembaharuan dalam cara kehidupannya . Bahkan, polesan
kehidupan itu, menjalar ke daerah sekelilingnya dengan malampaui batas sekat
wilayah dan budaya. Singkatnya berubah wajah menjadi yang sedemikian maju.
Kondisi tersebut tidak bisa lepas dari peran serta Al-Maghfurlah KH. Muntaha
Al-Hafidz (orang Kalibeber sering menyebutnya Mbah Mun).
Di antara deretan 'Ulama di tanah
air, nama Mbah Muntaha tentulah bukan nama yang asing. 'Ulama yang asli dari
Kalibeber ini serta hobi bermain bola sewaktu muda cukup kontras dengan
kehidupan di hari tuannya adalah sosok yang penuh dengan keterusterangan sikap
dan ucapan. Ia adalah salah seorang 'Ulama yang menonjol dan sekaligus unik. Di
samping lugas dalam berbicara, berani melawan yang dianggapnya tidak benar,
juga mempunyai rasa yang sangat tresno terhadap umat. Dengan keteguhan jiwa
orang yang menemukan dirinya sendiri, Mbah Mun menjadi sangat dihormati semua
orang, dicintai santri-santrinya, disegani kawan-kawannya.
Sekalipun demikian kehidupan Mbah
Mun adalah sangat sederhana. Kesedarhanaan hidupnya menjadi contoh bagi setiap
orang yang kekurangan akibat terpaan dalam cobaan hidup. Dan bagi orang yang
berada, Mbah Mun menjadi sosok lembaran yang harus ditiru dalam kezuhudan.
Hal itu dapat dilihat dari megahnya
bangunanan Pondok Pesantren, sekolah SMA dan SMP Takhassus Al-Qur`an serta
UNSIQ yang sebelumnya IIQ sewaktu beliau masih menjabat sebagai Rektor. Namun
kesederhanaan beliau tampak dalam kehidupan yang menempati sedikit ruangan
untuk sekedar beristirahat dan menerima tamu. Walaupun secara materi, ekonomi
Mbah Mun tergolong berkecukupan, bahkan tergolong kaya, namun lebih memilih
hidup sederhana.
Pakaian kesehariannya yang tampak
dan lebih menyukai pakaian yang berwarna putih, mulai dari sarung, peci, dan
serban yang sering dipakai merupakan bukti lain dari kebersahajaan beliau dalam
kehidupan. Agaknya semua manifestasi lahiriah tersebut merupakan penyingkapan
dari proses penyerbukan panjang benih-benih ruhaniah religius Mbah Mun. Bahkan
oleh sebagian kalangan beliau dinobatkan sebagi orang yang telah menempati
Maqom tertentu dalam kehidupan tasawwuf.
Bagi masyarakat Mbah Mun adalah
magnet sekaligus semen perekat yang membuat kohesivitas social, dan benar-benar
menjadi strum dalam kehidupan sosial. Dalam realitasnya, memang secara gemilang
telah malahirkan sebuah religius Al-Qur`an sebagai motornya.
Dalam etape pengabdiannya beliau terlihat
ikhlas, tulus, dan tanpa pamrih dalam pengabdiannya. Karena itu pantas jika
banyak kalangan yang berebut mendatangi rumahnya, mulai rakyat biasa hingga
para pejabat bahkan Presiden sowan kepada beliau utuk mencium jemari tangannya
dengan meminta sekedar nasehat atas pemecahan atas berbagai belitan masalah
yang melilit. Tatapan matanya yang teduh, raut muka yang teduh serta tutur
katanya yang menyejukkan seakan membasuh pekarangan batin umat yang kerontang.
Akhlak kekyaiannya untuk menyantuni segenap lapisan masyarakat yang tidak mampu
tidak pernah lekang dalam ruas-ruas perjuangan beliau.(Ahmad Muzan*)
*direktur PPs AP Fatannugraha
Wonosobo