JUDUL
BUKU: Nisan Annemarie
PENULIS:
Binhad Nurrohmat
PENERBIT:
Diva Press, Jogjakarta
CETAKAN:
I, April 2020
TEBAL:
197 halaman
ISBN:
978-602-391-918-5
Sekujur buku ini menjadi pengingat bagi kita agar tak terlena dalam
gempita kehidupan yang segera berakhir dengan kematian
Kuburan adalah firman terbujur membisu
dan angin membawa berita dari penjuru.
Peristiwa tak sirna dari ingatan semesta
dan di bawah tanah bersemayam cerita.
(Firman Kuburan, halaman 66)
Begitu antara lain cara Binhad
Nurrohmat menyodok kesadaran manusia-manusia yang teledor dari tafakur tentang
alam kubur. Padahal, setiap anak manusia tak akan sanggup lari dari lorong misteri
itu. Kendati jarak kehidupan begitu tipis dari kematian, tidak lantas menggugah
manusia-manusia bebal yang sedang mabuk oleh aneka permainan.
Binhad telah memberikan isyarat
bahwa dengan mengakrabi semesta kuburan, seseorang bisa belajar berbekal diri
menuju kematian. Kuburan senyatanya bukan sekadar monumen yang dijadikan objek
wisata religi belaka, melainkan sebuah monumen yang meronce tali sejarah
kehidupan agar tidak terhapus dalam ingatan generasi setelahnya.
Binhad, penyair dan esais yang kini
mengelola Kuburan Institute di Jombang, Jawa Timur, tampak begitu yakin tentang
pertanggungjawaban di alam kubur. //Setelah hayat terbenihkan
percintaan//kuburan di luar kamar sabar menanti.//Di hamparan planet manusia
berjalan//menuju ujung kisah di batu nisan sendiri (Berjalan ke Kuburan,
halaman 37). Melalui kontrol bahasa yang memesona, Binhad menghadirkan subtil
kematian yang dicitrakan dengan kuburan dan batu nisan.
Penerbitan buku Nisan Annemarie ini
merupakan sekuel kedua Binhad yang mengisahkan misteri kematian pasca terbitnya
buku Kuburan Imperium (2019). Bahkan, dua antologi puisi tersebut akan dilanjut
dengan sekuel berikutnya. Melalui Kuburan Imperium, lalu Nisan Annemarie ini,
Binhad seolah mengajak pembaca berziarah dari satu makam ke makam lain.
Ada apa dengan Binhad, kuburan, dan
batu nisan? Dari tiga buku kumpulan puisi pertamanya, kita sama sekali tidak
mengendus wangi kemboja dan aroma tanah pemakaman. Sebaliknya, dalam kumpulan
puisi Kuda Ranjang (2004), Bau Betina (2007), Demonstran Sexy (2009), dan
himpunan esai Perkelaminan (2007), sangat kuat embusan erotisme. Syahwat Binhad
pada masa-masa itu tidak sekadar vulgar, tapi cenderung liar.
Lewat antologi puisinya, Kwatrin
Ringin Contong (2014), pergeseran dengan nada khidmat mulai meresap ke sumsum
tulang kepenyairan Binhad. Keliaran nafsu erotisnya tak lagi menggelegak. Dalam
periode ini Binhad justru mendesak pembaca untuk merenung dalam hening budaya.
Berbagai nukilan sejarah Majapahit dan situs-situs peziarahan di Jawa Timur
terasa lebih dominan.
Mengutip kritikus Martin Suryajaya
dalam pengantar buku Nisan Annemarie, kini Binhad telah menemukan gaya
pengucapan baru dalam belantara imajinatif dan gerak puitisnya. Dia berhasil
menciptakan sebuah ruang genre puisi lirik yang menyediakan ruang bertemunya
suara-suara tradisi dan modernitas.
Buku yang memuat 193 sajak ini
merupakan himpunan momen-momen dan monumen-monumen sejarah yang cukup
menakjubkan. Dalam puisi Nama Teman di Batu Nisan, misalnya, Binhad seperti
menghikmati sebuah patok yang menyembul di atas kuburan: //Tak ada obrolan
sejak nama terpahatkan//dan nisan menjadi kesunyian yang bicara.//Bahasa adalah
riang suara atau kebisuan//dari kelindan kenangan pada irisan cerita// (Nama
Teman di Batu Nisan, halaman 132).
Lewat bait-bait puisi Binhad kali
ini, terasa betul aura seorang peneliti sufi legendaris asal Jerman, Annemarie
Schimmel, yang kemudian ditempelkan ke judul buku. Kesan-kesan sufistik
berlumuran di sana-sini. Tapi, karena sang penyair begitu intens keluyuran ke
pekuburan, misteri kematian dapat diobrolkan dengan bahasa yang santai dan tak
sulit dipahami.
Sekujur buku ini menjadi pengingat
bagi kita agar tak terlena dalam gempita kehidupan yang segera berakhir dengan
kematian. //Tak sendiri semenjak mati menghampiri//dan pelayat terakhir sayu
beranjak pergi.//Akan terjaga diri di awal kali setelah mati//serta tahu dunia
sebatas lelap dan mimpi.// (Berjalan Keranda ke Masa Depan, halaman 69).
Di saat pandemi virus korona yang
meniscayakan physical distancing, puisi-puisi Binhad ini bagaikan petuah-petuah
yang menegaskan pertanggungjawaban setiap insan di hadapan Tuhan. Tanpa virus
korona sekalipun, antar penghuni kuburan pun akan mengalami physical distancing
dan memanggul amalnya sendiri-sendiri. (*)
*Ahmad Fatoni, Pengajar PBI UMM dan penikmat puisi