Iklan

Senin, 01 Februari 2021, 08.02.00 WIB
Last Updated 2021-02-01T16:02:46Z
Nge-book

Habis Kuburan Terbitlah Nisan

 


JUDUL BUKU: Nisan Annemarie

PENULIS: Binhad Nurrohmat

PENERBIT: Diva Press, Jogjakarta

CETAKAN: I, April 2020

TEBAL: 197 halaman

ISBN: 978-602-391-918-5

 

Sekujur buku ini menjadi pengingat bagi kita agar tak terlena dalam gempita kehidupan yang segera berakhir dengan kematian

Kuburan adalah firman terbujur membisu

dan angin membawa berita dari penjuru.

Peristiwa tak sirna dari ingatan semesta

dan di bawah tanah bersemayam cerita.

(Firman Kuburan, halaman 66)

 

Begitu antara lain cara Binhad Nurrohmat menyodok kesadaran manusia-manusia yang teledor dari tafakur tentang alam kubur. Padahal, setiap anak manusia tak akan sanggup lari dari lorong misteri itu. Kendati jarak kehidupan begitu tipis dari kematian, tidak lantas menggugah manusia-manusia bebal yang sedang mabuk oleh aneka permainan.

Binhad telah memberikan isyarat bahwa dengan mengakrabi semesta kuburan, seseorang bisa belajar berbekal diri menuju kematian. Kuburan senyatanya bukan sekadar monumen yang dijadikan objek wisata religi belaka, melainkan sebuah monumen yang meronce tali sejarah kehidupan agar tidak terhapus dalam ingatan generasi setelahnya.

Binhad, penyair dan esais yang kini mengelola Kuburan Institute di Jombang, Jawa Timur, tampak begitu yakin tentang pertanggungjawaban di alam kubur. //Setelah hayat terbenihkan percintaan//kuburan di luar kamar sabar menanti.//Di hamparan planet manusia berjalan//menuju ujung kisah di batu nisan sendiri (Berjalan ke Kuburan, halaman 37). Melalui kontrol bahasa yang memesona, Binhad menghadirkan subtil kematian yang dicitrakan dengan kuburan dan batu nisan.

Penerbitan buku Nisan Annemarie ini merupakan sekuel kedua Binhad yang mengisahkan misteri kematian pasca terbitnya buku Kuburan Imperium (2019). Bahkan, dua antologi puisi tersebut akan dilanjut dengan sekuel berikutnya. Melalui Kuburan Imperium, lalu Nisan Annemarie ini, Binhad seolah mengajak pembaca berziarah dari satu makam ke makam lain.

Ada apa dengan Binhad, kuburan, dan batu nisan? Dari tiga buku kumpulan puisi pertamanya, kita sama sekali tidak mengendus wangi kemboja dan aroma tanah pemakaman. Sebaliknya, dalam kumpulan puisi Kuda Ranjang (2004), Bau Betina (2007), Demonstran Sexy (2009), dan himpunan esai Perkelaminan (2007), sangat kuat embusan erotisme. Syahwat Binhad pada masa-masa itu tidak sekadar vulgar, tapi cenderung liar.

Lewat antologi puisinya, Kwatrin Ringin Contong (2014), pergeseran dengan nada khidmat mulai meresap ke sumsum tulang kepenyairan Binhad. Keliaran nafsu erotisnya tak lagi menggelegak. Dalam periode ini Binhad justru mendesak pembaca untuk merenung dalam hening budaya. Berbagai nukilan sejarah Majapahit dan situs-situs peziarahan di Jawa Timur terasa lebih dominan.

Mengutip kritikus Martin Suryajaya dalam pengantar buku Nisan Annemarie, kini Binhad telah menemukan gaya pengucapan baru dalam belantara imajinatif dan gerak puitisnya. Dia berhasil menciptakan sebuah ruang genre puisi lirik yang menyediakan ruang bertemunya suara-suara tradisi dan modernitas.

Buku yang memuat 193 sajak ini merupakan himpunan momen-momen dan monumen-monumen sejarah yang cukup menakjubkan. Dalam puisi Nama Teman di Batu Nisan, misalnya, Binhad seperti menghikmati sebuah patok yang menyembul di atas kuburan: //Tak ada obrolan sejak nama terpahatkan//dan nisan menjadi kesunyian yang bicara.//Bahasa adalah riang suara atau kebisuan//dari kelindan kenangan pada irisan cerita// (Nama Teman di Batu Nisan, halaman 132).

Lewat bait-bait puisi Binhad kali ini, terasa betul aura seorang peneliti sufi legendaris asal Jerman, Annemarie Schimmel, yang kemudian ditempelkan ke judul buku. Kesan-kesan sufistik berlumuran di sana-sini. Tapi, karena sang penyair begitu intens keluyuran ke pekuburan, misteri kematian dapat diobrolkan dengan bahasa yang santai dan tak sulit dipahami.

Sekujur buku ini menjadi pengingat bagi kita agar tak terlena dalam gempita kehidupan yang segera berakhir dengan kematian. //Tak sendiri semenjak mati menghampiri//dan pelayat terakhir sayu beranjak pergi.//Akan terjaga diri di awal kali setelah mati//serta tahu dunia sebatas lelap dan mimpi.// (Berjalan Keranda ke Masa Depan, halaman 69).

Di saat pandemi virus korona yang meniscayakan physical distancing, puisi-puisi Binhad ini bagaikan petuah-petuah yang menegaskan pertanggungjawaban setiap insan di hadapan Tuhan. Tanpa virus korona sekalipun, antar penghuni kuburan pun akan mengalami physical distancing dan memanggul amalnya sendiri-sendiri. (*)

*Ahmad Fatoni, Pengajar PBI UMM dan penikmat puisi