Menyelami Ketidakadilan Era Orde Baru Melalui Karya Fiksi*
Judul buku : Laut Bercerita
Penulis : Leila Salikha Chudori
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun terbit : 2017
Tebal buku : x + 379 halaman
Novel
yang berjudul “Laut Bercerita” merupakan salah satu karya dari Leila Salikha
Chudori bergenre fiksi. Ada beberapa buku yang sempat ia tulis, seperti
kumpulan cerpen Malam Terakhir yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman
Die Letzte Nacht (Horlemman Verlag), kumpulan cerpen 9 dari Nadira
diterbitkan 2009 dan mendapatkan penghargaan Sastra dari Badan Bahasa. Selain
itu, pada 2012 lalu, ia menerbitkan novel Pulang – kini sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Jerman dan Italia. Novel
Pulang memenangkan Prosa Terbaik Khatulistiwa Literacy Award 2013serta
dinyatakan sebagai satu dari “75 Notable Translations of 2016” oleh World
Literature Today.
Ia
menempuh pendidikan di Trent University Kanada. Tak hanya sebagai penulis.
Leila adalah penggagas dan penulis skenario drama televisi Drama TV Dunia
Tanpa Koma dan penulis skenario film pendek Drupadi (keduanya
diproduksi Sinemart). Novel ini sudah mencapai cetakan ke-14 sejak diterbitkan
2017 lalu. Novel ini diadopsi dari kisah nyata perjuangan pada masa orde baru
dikemas dalam karya fiksi.
Matilah
engkau mati
Kau
akan lahir berkali-kali....
Sebait
puisi karya Soetardji Calzoum menjadi prolog
dalam novel ini – adapun dua plot utama yakni Biru Laut & Asmara Jati. Sedangkan
pada plot Biru Laut ada beberapa bagian di dalamnya seperti Seyegan 1991, Di
Sebuah Tempat di Dalam Gelap 1998, Ciputat 1991, Di Sebuah Tempat di Dalam Keji
1998, Blangguan dan yang lainnya. Plot Asmara Jati menyajikan empat bagian,
yakni Ciputat, Jakarta 2000, Pulau Seribu 2000, Tanah Kusir 2000 serta Di Depan
Istana Negara 2007. Itas
Biru
Laut yang menjadi tokoh utama dalam cerita merupakan mahasiswa Sastra Inggris
dan berkuliah di UGM Yogyakarta. Keluarga Laut terdiri dari 4 anggota keluarga,
Bapaknya Arya Wibisono, Ibu, Laut dan adiknya Asmara Jati. Bapaknya bekerja
sebagai wartawan Harian Solo. Ibunya bekerja sebagai penerima jasa
katering di rumah. Sejak kecil, Laut sudah melahap berbagai buku bacaan, mulai
dari koran, komik wayang hingga buku-buku klasik karya Eropa dan Amerika Latin
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, ia bertumbuh
menjadi sosok idealis dan teguh dalam prinsipnya. Meskipun Laut begitu tenang,
namun ia begitu peduli dengan kebebasan rakyat yang hidup dalam kungkungan
rezim Soeharto.
Ketika
berkuliah semester 4 tepatnya, merupakan awal pertemuan dengan Kinan Kinasih,
Ya, mahasiswa aktivis di UGM dan mengikuti beberapa organisasi perlawanan
terhadap orde baru, Winatra dan Wirasena. Selain Kinan, Laut juga berkawan
dengan Sunu, Alex, Naratama, Bram, Gusti, Mas Gala, Daniel, Julius, Widi, Dana
dan beberapa kawan lain.
Semenjak
pertemuannya dengan Kinan, Laut kerap kali melakukan diskusi terkait isu-isu
hangat kala itu serta tentang beberapa buku yang mereka baca. Karena saat orde
baru banyak buku terlarang dipasarkan dan didiskusikan, mereka terpaksa
berdiskusi secara diam-diam. Misal saja buku Bumi Manusia karya
Pramoedya Ananta Toer, puisi-puisi Rendra serta buku-buku yang mampu membangkitkan
perlawanan mahasiswa pada saat itu.
Seyegan.
Rumah atau markas yang mereka jadikan kantor sekretariat dari Winatra dan
Wirasena. Biasanya para aktivis akan membentuk strategi dan melakukan diskusi
di Seyegan. Sebuah rumah yang susah terjangkau oleh mata-mata tentara maupun
intel pemerintahan. Awalnya rumah Seyegan semacam rumah hantu yang tak
berpenghuni. Bagaimana tidak? Cat dinding yang sudah dipenuhi debu, bau tak
sedap karena ulah orang yang melintas dan buang air kecil sembarang.
Namun,
mereka mengubah rumah tersebut menjadi rumah yang berseni dan memiliki ruh. Saat
renovasi rumah Seyegan merupakan awal pertemuan Laut dan Anjani – yang pada
waktunya mereka akan berbagi rasa dan dunia. Kisah Laut ini menyorot pada
perjuangan aktivis dalam pembebasan terhadap rezim Soeharto.
Perlawanan
mereka di Blangguan menjadi awal kisah Laut hidup dalam kegelapan. Menjadi
buron intel pemerintahan, kesana-kemari hanya untuk menghindarinya. Dan suatu
waktu, Laut dan beberapa kawan lain tertangkap - di situlah mereka disekap dan
diinterogasi. Bahkan mereka akan babak belur karena tidak diperlakukan secara
manusiawi.
Tetapi
akhirnya mereka dibebaskan dalam keadaan memprihatinkan. Hal tersebut tidak
membuat gentar bagi Laut dan kawan-kawan. Mereka lebih gencar untuk menciptakan
strategi dan melakukan perlawanan lain. Setelah aksi tanam jagung Blangguan
yang paling melekat dan dalam waktu yang lama, menjadikan mereka buron lagi
oleh para intel. Nahasnya, mereka
tertangkap –disiksa, diinterogasi, dipukul, ditendang adalah makanan mereka
sehari-hari. Dan pada suatu waktu beberapa dari mereka dibebaskan, tetapi Laut,
Kinan, dan Sunu tidak diketahui keberadaannya. Mereka seolah lenyap, menghilang
dari bumi. Keluarga mereka mencari hingga beberapa tahun, perjuangan pencarian mereka
yang dihilangkan berjalan selama bertahun-tahun.
Pada
1999, orde baru sudah diguncangkan dan pemilihan presiden terjadi – Laut dan
kawannya yang hilang tetap belum ditemukan. Keluarga mencari kemana-mana dan
akhirnya Asmara - adik Laut membentuk Tim Komisi Orang Hilang dan dibantu teman
Laut yang berhasil kembali. Ternyata Laut diborgol dan dijatuhkan ke laut,
bersama ombak, Biru Laut akan selalu hadir dan ikan-ikan dengan setianya
mendengarkan cerita perjuangannya dulu. Keluarga tetap merasa kehilangan hingga
pada akhirnya harus melepaskan dan mengikhlaskan kekejaman yang terjadi pada
Laut dan para kawan yang hilang. Tetapi keluarga mereka tetap menuntut negara
agar membalas semua kekejaman yang terjadi pada orang tersayang mereka.
Laut
bercerita, bertutur tentang kisah keluarga
yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada,
sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga
yang mencari kejelasan makam anaknya dan tentang cinta yang tak akan luntur.
Novel
ini memberikan tamparan keras bagi pembacanya. Para aktivis yang teguh dalam
memperjuangkan kebebasan berpendapat dan bebas dari rezim orde baru. Menguak
apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu. Dengan alur cerita berbingkai
menjadi novel yang terkemas dengan tak biasa. Bahasa yang digunakan sarat akan
hal maknawi, penulis menampilkan sosok Laut yang begitu tenang namun sebenarnya
sangat peduli, hingga menceritakan setiap tokohnya dengan jelas. Saat membaca
novel ini, pembaca akan disajikan berbagai rekomendasi buku fiksi ataupun
non-fiksi yang akan berpengaruh terhadap pola pikir dan kehidupan.
Plot
cerita yang juga menyajikan kilas balik cerita membuat novel ini tidak bisa
ditebak alur ceritanya. Konflik yang diceritakan begitu menyayat hati, hingga
pembaca mampu merasakan apa yang terjadi di dalam cerita. Pemilihan diksi yang
tepat sehingga mudah dipahami.
Layaknya
peribahasa, tak ada gading yang tak retak begitulah karya manusia, tak ada yang
sempurna. Buku ini memang menyajikan bahasa yang lugas namun di beberapa
kalimat ada yang menggunakan bahasa asing dan terkesan frontal sehingga kurang
tepat dibaca oleh kalangan anak-anak. Novel ini lebih cocok dibaca oleh remaja
15 tahun ke-atas.
Penggalan
akhir cerita,
Biru Laut bercerita, dari dasar laut yang sunyi bercerita kepada
kita, kepada dunia tentang apa yang terjadi pada dirinya dan kawan-kawannya.
Novel ini didedikasikan kepada mereka yang dihilangkan dan tetap
hidup selamanya.
Mahasiswi KPI UIN Walisongo Semarang, tulisan lainnya bisa juga ditemui di laman blognya Semesta Berkata