Iklan

Sabtu, 12 Juni 2021, 05.45.00 WIB
Last Updated 2021-06-12T13:52:28Z
Nge-book

Menyelami Ketidakadilan Era Orde Baru Lewat Laut Bercerita

Menyelami Ketidakadilan Era Orde Baru Melalui Karya Fiksi*


    Judul buku        : Laut Bercerita

      Penulis              : Leila Salikha Chudori

     Penerbit            : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

    Tahun terbit      : 2017

     Tebal buku        : x + 379 halaman

 

Novel yang berjudul “Laut Bercerita” merupakan salah satu karya dari Leila Salikha Chudori bergenre fiksi. Ada beberapa buku yang sempat ia tulis, seperti kumpulan cerpen Malam Terakhir yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman Die Letzte Nacht (Horlemman Verlag), kumpulan cerpen 9 dari Nadira diterbitkan 2009 dan mendapatkan penghargaan Sastra dari Badan Bahasa. Selain itu, pada 2012 lalu, ia menerbitkan novel Pulang – kini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Jerman dan Italia. Novel Pulang memenangkan Prosa Terbaik Khatulistiwa Literacy Award 2013serta dinyatakan sebagai satu dari “75 Notable Translations of 2016” oleh World Literature Today.

Ia menempuh pendidikan di Trent University Kanada. Tak hanya sebagai penulis. Leila adalah penggagas dan penulis skenario drama televisi Drama TV Dunia Tanpa Koma dan penulis skenario film pendek Drupadi (keduanya diproduksi Sinemart). Novel ini sudah mencapai cetakan ke-14 sejak diterbitkan 2017 lalu. Novel ini diadopsi dari kisah nyata perjuangan pada masa orde baru dikemas dalam karya fiksi.

Matilah engkau mati

Kau akan lahir berkali-kali....

Sebait puisi karya Soetardji Calzoum  menjadi prolog dalam novel ini – adapun dua plot utama yakni Biru Laut & Asmara Jati. Sedangkan pada plot Biru Laut ada beberapa bagian di dalamnya seperti Seyegan 1991, Di Sebuah Tempat di Dalam Gelap 1998, Ciputat 1991, Di Sebuah Tempat di Dalam Keji 1998, Blangguan dan yang lainnya. Plot Asmara Jati menyajikan empat bagian, yakni Ciputat, Jakarta 2000, Pulau Seribu 2000, Tanah Kusir 2000 serta Di Depan Istana Negara 2007. Itas

Biru Laut yang menjadi tokoh utama dalam cerita merupakan mahasiswa Sastra Inggris dan berkuliah di UGM Yogyakarta. Keluarga Laut terdiri dari 4 anggota keluarga, Bapaknya Arya Wibisono, Ibu, Laut dan adiknya Asmara Jati. Bapaknya bekerja sebagai wartawan Harian Solo. Ibunya bekerja sebagai penerima jasa katering di rumah. Sejak kecil, Laut sudah melahap berbagai buku bacaan, mulai dari koran, komik wayang hingga buku-buku klasik karya Eropa dan Amerika Latin yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, ia bertumbuh menjadi sosok idealis dan teguh dalam prinsipnya. Meskipun Laut begitu tenang, namun ia begitu peduli dengan kebebasan rakyat yang hidup dalam kungkungan rezim Soeharto.

Ketika berkuliah semester 4 tepatnya, merupakan awal pertemuan dengan Kinan Kinasih, Ya, mahasiswa aktivis di UGM dan mengikuti beberapa organisasi perlawanan terhadap orde baru, Winatra dan Wirasena. Selain Kinan, Laut juga berkawan dengan Sunu, Alex, Naratama, Bram, Gusti, Mas Gala, Daniel, Julius, Widi, Dana dan beberapa kawan lain.

Semenjak pertemuannya dengan Kinan, Laut kerap kali melakukan diskusi terkait isu-isu hangat kala itu serta tentang beberapa buku yang mereka baca. Karena saat orde baru banyak buku terlarang dipasarkan dan didiskusikan, mereka terpaksa berdiskusi secara diam-diam. Misal saja buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, puisi-puisi Rendra serta buku-buku yang mampu membangkitkan perlawanan mahasiswa pada saat itu.

Seyegan. Rumah atau markas yang mereka jadikan kantor sekretariat dari Winatra dan Wirasena. Biasanya para aktivis akan membentuk strategi dan melakukan diskusi di Seyegan. Sebuah rumah yang susah terjangkau oleh mata-mata tentara maupun intel pemerintahan. Awalnya rumah Seyegan semacam rumah hantu yang tak berpenghuni. Bagaimana tidak? Cat dinding yang sudah dipenuhi debu, bau tak sedap karena ulah orang yang melintas dan buang air kecil sembarang.

Namun, mereka mengubah rumah tersebut menjadi rumah yang berseni dan memiliki ruh. Saat renovasi rumah Seyegan merupakan awal pertemuan Laut dan Anjani – yang pada waktunya mereka akan berbagi rasa dan dunia. Kisah Laut ini menyorot pada perjuangan aktivis dalam pembebasan terhadap rezim Soeharto.

Perlawanan mereka di Blangguan menjadi awal kisah Laut hidup dalam kegelapan. Menjadi buron intel pemerintahan, kesana-kemari hanya untuk menghindarinya. Dan suatu waktu, Laut dan beberapa kawan lain tertangkap - di situlah mereka disekap dan diinterogasi. Bahkan mereka akan babak belur karena tidak diperlakukan secara manusiawi.

Tetapi akhirnya mereka dibebaskan dalam keadaan memprihatinkan. Hal tersebut tidak membuat gentar bagi Laut dan kawan-kawan. Mereka lebih gencar untuk menciptakan strategi dan melakukan perlawanan lain. Setelah aksi tanam jagung Blangguan yang paling melekat dan dalam waktu yang lama, menjadikan mereka buron lagi oleh para intel.  Nahasnya, mereka tertangkap –disiksa, diinterogasi, dipukul, ditendang adalah makanan mereka sehari-hari. Dan pada suatu waktu beberapa dari mereka dibebaskan, tetapi Laut, Kinan, dan Sunu tidak diketahui keberadaannya. Mereka seolah lenyap, menghilang dari bumi. Keluarga mereka mencari hingga beberapa tahun, perjuangan pencarian mereka yang dihilangkan berjalan selama bertahun-tahun.

Pada 1999, orde baru sudah diguncangkan dan pemilihan presiden terjadi – Laut dan kawannya yang hilang tetap belum ditemukan. Keluarga mencari kemana-mana dan akhirnya Asmara - adik Laut membentuk Tim Komisi Orang Hilang dan dibantu teman Laut yang berhasil kembali. Ternyata Laut diborgol dan dijatuhkan ke laut, bersama ombak, Biru Laut akan selalu hadir dan ikan-ikan dengan setianya mendengarkan cerita perjuangannya dulu. Keluarga tetap merasa kehilangan hingga pada akhirnya harus melepaskan dan mengikhlaskan kekejaman yang terjadi pada Laut dan para kawan yang hilang. Tetapi keluarga mereka tetap menuntut negara agar membalas semua kekejaman yang terjadi pada orang tersayang mereka.

Laut bercerita, bertutur tentang kisah keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan makam anaknya dan tentang cinta yang tak akan luntur.

Novel ini memberikan tamparan keras bagi pembacanya. Para aktivis yang teguh dalam memperjuangkan kebebasan berpendapat dan bebas dari rezim orde baru. Menguak apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu. Dengan alur cerita berbingkai menjadi novel yang terkemas dengan tak biasa. Bahasa yang digunakan sarat akan hal maknawi, penulis menampilkan sosok Laut yang begitu tenang namun sebenarnya sangat peduli, hingga menceritakan setiap tokohnya dengan jelas. Saat membaca novel ini, pembaca akan disajikan berbagai rekomendasi buku fiksi ataupun non-fiksi yang akan berpengaruh terhadap pola pikir dan kehidupan.

Plot cerita yang juga menyajikan kilas balik cerita membuat novel ini tidak bisa ditebak alur ceritanya. Konflik yang diceritakan begitu menyayat hati, hingga pembaca mampu merasakan apa yang terjadi di dalam cerita. Pemilihan diksi yang tepat sehingga mudah dipahami.

Layaknya peribahasa, tak ada gading yang tak retak begitulah karya manusia, tak ada yang sempurna. Buku ini memang menyajikan bahasa yang lugas namun di beberapa kalimat ada yang menggunakan bahasa asing dan terkesan frontal sehingga kurang tepat dibaca oleh kalangan anak-anak. Novel ini lebih cocok dibaca oleh remaja 15 tahun  ke-atas.

Penggalan akhir cerita,

Biru Laut bercerita, dari dasar laut yang sunyi bercerita kepada kita, kepada dunia tentang apa yang terjadi pada dirinya dan kawan-kawannya.

Novel ini didedikasikan kepada mereka yang dihilangkan dan tetap hidup selamanya.


*Mafriha Azida 

Mahasiswi KPI UIN Walisongo Semarang, tulisan lainnya bisa juga ditemui di laman blognya Semesta Berkata