Judul: Nisan Annemarie
● Penulis: Binhad Nurrohmat
●Penerbit: DIVA Press
●Cetakan: Pertama, April 2020
●ISBN: 978-602-391-918-5
●Tebal: 197 Halaman
Puisi ternyata tak cukup hanya ditulis. Puisi juga harus menjelajah ke tema dan jalan estetika yang kalau bisa paling muskil sekali pun, tak peduli wabah korona tengah melanda.
Puisi nyatanya dan rupa-rupanya seperti hidup yang tak cukup sekadar dijalani, tapi harus direnungi, dipertanyakan, digugat dan dibuang kalau sekiranya tak berguna. Ibarat orang, puisi tak punya hak berdiam diri. Sebab puisi kudu menanggung beban maknanya sendiri.
Maka laksana organisme, puisi pun memenuhi takdirnya untuk terus bergerak supaya memiliki makna, setidaknya bagi si penyair dan pembacanya, atau dikuburkan. Setelah menjelajah di rimba raya urban metropolitan sembari meresapi sudut-sudut erotisitas tubuh lewat Kuda Ranjang (2004), Bau Betina (2007) dan Demonstran Seksi (2009).
Binhad Nurrohmat kini lewat buku Nisan Annemarie (DIVA Press, 2020) menggiring puisi-puisinya untuk bertualang ke wilayah perkuburan. Wilayah yang tak terduga-duga, setidaknya dianggap bertolakan dengan wilayah jelajahan sebelumnya.
Bertolakan karena wilayah urban metropolitan diandaikan sebagai lokasi di mana hidup dirayakan dengan segala daya, duka dan gembira. Di sinilah peradaban didenyutkan demi riwayat penyair, si pemanggul kesadaran. Wilayah urban serupa keserakahan yang sanggup menelan apa saja, temasuk kematian, demi gairah kehidupan.
Dengan sinis-skeptis Jean Paul Sartre menggambarkan kota sebagai wilayah di mana orang-orang melupakan kematiannya sendiri dengan mudah dan dingin.
Sedangkan lekuk-liku tubuh merupakan perlambang gairah hidup yang menyala-nyala.
Tubuh adalah artefak penciptaan yang paling dekat dengan kita yang mengundang kesadaran untuk menyelusuri, mengalami sentuhan, denyutan, dan segala ihwal yang membawa denyar pergulatan. Dan pekuburan adalah wilayah keheningan, zona istirah bagi yang lelah setelah puas mereguk hidup dan segala yang menyala-nyala.
Tetapi benarkah demikian? Puisi Kuburan Terakhir memberi isyarat bahwa manusia …kelak mengubur mayatnya sendiri laksana sepi tak jumpa bahasa semenjak berpusara seluruh kata. (hal. 3)
Kuburan adalah wilayah kesadaran tentang waktu dan kefanaan. Puisi-puisi Binhad mengajak kita menyusuri waktu yang fana, berhenti di perkuburan. Inilah tempat di mana orang hanya bisa mengenang dan menjenguk masa silam. Bait kedua puisi Kuburan Kita di Masa Silam berseru Angka almanak dan detakan jam menjarah pendaman usia setelah kita pergi dari rekahan rahim. (hal 5)
Bait berikutnya memperjelas kefanaan manusia yang tak berdaya dikeranda waktu, puisi itu berkata Kita adalah tawanan waktu dan semenjak lahir menghisap masa depan dari puting takdir . Puisi ini seperti hendak mengabarkan bahwa penjelajahan puisi ke wilayah kuburan adalah kesadaran tentang keperkasaan waktu dan takdir.
Maka yang dilakukan puisi-puisi Binhad di wilayah perkuburuan adalah perjalanan ke wilayah keheningan, ke Monumen Kesunyian ke reruntuhan waktu dan kisah tenggelam tanpa benar-benar melupakan gairah wilayah jelajahan sebelumnya.
Tengoklah frasa dari puting takdir pada puisi di Kuburan Kita di Masa Silam. Namun dia berkeras menjaga jarak aman, katanya Selamat datang diucapkan kepada masa yang terkubur dan bersendiri masa depan kita di masa lalu.
Sensualitas Plesiran di Kuburan
Perihal kesadaran akan masa lalu, dan masa kini menjadi pokok penting dalam puisi-puisi Binhad saat melakukan penjelajahan atau perjalanan. Maka kita diajak terus menerus berziarah yang menyerupai plesiran ke kompleks-kompleks perkuburan, kuburan tokoh-tokoh yang kita kenal dalam lembaran sejarah, yang secara fisik maupun imajinatif.
Mulai dari para pembaru Islam seperti Kiai Asyari, Gus Dur, Ahmad Wahib, Sukarno, aktifis buruh Marsinah, Munir, hingga nama-nama dari benua seberang seperti Hitler, Helena Petrovna, filsuf Immanuel Kant, Karl Marx, Albert Camus, Nicolai Gogol, Ernest Hemingway, hingga Annemarie Schimmel sang peneliti tokoh sufi Jalaluddin Rumi. Bahkan kuburan hewan, yaitu si anjing hitam, kucing Hachiko di Tokyo, dan ayam sang pangeran.
Binhad menghela puisi-puisinya untuk tak memandang perkuburan sebagai sesuatu yang angker dan mengerikan, juga bukan berisi kematian yang dirindukan untuk bertemu Tuhan seperti Fansuri, melainkan sebuah monumen kesunyian yang bisa tampil jenaka, sinis, sensual, dan rada nakal.
Puisi Gancet berujar Yang bercinta di kuburan ingin sembunyi dari saksi mata yang belum terkuburkan.Yang telah mati tak hendak bercinta lagi tanpa berkepayang pada yang telanjang Kuburan bukan penjara atau penginapan dan serupa firman sepi bertahan di bumi Yang datang berjumpa kamboja rindang dan jari kelam mengetuk pintu-pintu diri. (hal. 50)
Atau puisi Jemuran di Kuburan: aroma deterjen di jeruji pagar kuburan menguap dari jemuran di panas siang.Beragam warna setiap hari berkibaran selain pakaian orang yang terkuburkan.(hal 51)
Binhad kelewat antusias menjejali puisi-puisinya dengan kuburan sembari merawat gairah hidup dunia urban metropolitan yang diam-diam dikengeni. Sehingga kuburan tampak serupa wajah lain dari gairah hidup yang membara.
Jalan penjelajahan tematik dan estetik puisi-puisi Binhad terkesan sekadar ziarah singkat yang tak siap dan sukarela meninggalkan kedalaman sumur di tepi sawah atau keheningan telaga di lembah sunyi.
Hanya mampir sebentar, untuk kemudian membentur nisan, dan ragu untuk berpaling dari hasrat pada Kuburan Kita di Masa Silam.
Meskipun bersifat ziarah, jalan penjelajahan yang dipilih puisi-puisi Binhad memberi cakrawala baru sastra mutakhir Indonesia buat dikenang saat kita kangen kepada kuburan.
Berbeda dengan Fansuri, puisi-puisi ini dengan santai mengucapkan dirinya bukan dengan teknik bertutur aku-lirik. Atau aku dan subjek lain yang menuturkan berada di luar.
Teknik ini mengantar pembaca langsung kepada fenomena yang dicerap dan sodorkan penyair, bukan penyairnya. Simaklah puisi Jalan Raya Deandels di Jawa, pembaca disodori fenomena riwayat pedih jalan yang merentang dari Anyer, Banten hingga Panarukan, Situbondo: Berlayar ke arah Jawa atas titah raja asing lalu merapat dan mereguk hayat negeri lain. Dari barat pulau menggelar sebentang jalan hingga ujung batas kesedihan di Panarukan. (hal.31)
Atau puisi Jembatan Brantas di Jombang: Di sekujur sungai menderas tak hanyut bayang jembatan. Dari mana pun saat melintas tapak kaki tak memijak ikan. (hal 33) Muram kuburan muncul dari riwayat sejumlah tempat.
Akhirnya, mari kita nikmati sajak Nisan Annemarie (hal 142) yang kurang lebih mewakili spirit buku ini bahwa kematian sesungguhnya adalah hidup yang sejati:
Berbisik riwayat selepas menepi hayat dan ingatan tak lari dari batas biografi hidup menyibak pintunya lamat-lamat semenjak maut melengkapi kisah diri.
Manusia di dunia sejenak tidur belaka dan tersibak mata sejak tiba kematian.Takdir membuat masa depan tak ada setelah semua diguratkan di belakang
Perjalanan di dunia seumpama mimpi menempuh serentang ruang dan masa Seperti Annemarie Schimmel mengerti di relung pusara bermula segala cerita,
Udara tak kentara menjangkau pundak sesamar waktu merayap tanpa terlihat. Sebujur fana manusia sebatas tampak sebelum jala-jala kekal hadir mejerat
Lewat kalimat kasat mendiang berucap pada nisan dari masa lalu yang terpahat.Langit bertitah kepada yang kelak lindap sedari hayat di dunia hanya lelap sesaat.