Oleh: Tedi Kholiludin
Sebelum acara dimulai, saya meminta izin untuk ke kamar kecil yang letaknya ada di bagian belakang gedung secretariat. Bangunan ini sendiri menempel dengan tempat ibadah yang ada di lingkungan Klenteng Hok Hoo Bio, Wonosobo.
Di dinding, ada 5 atau 6 foto terpampang. Karena sudah teramat kebelet, saya lewatkan untuk sesaat dan berniat menelisik lebih lanjut keterangan yang ada di foto tersebut.
Karena panitia masih menyiapkan tempat serta meminta peserta untuk menempati kursi yang ada di depan, saya kembali mengamati beberapa foto yang tadi sekilas sempat diamati. Saya mencoba mencari foto yang berusia paling tua.
Hingga kemudian, tertambatlah saya pada satu foto pementasan kesenian baronsai di tahun 1998. “Penampakan Naga (Liong) Hoo Hap Hwee Semarang pada upacara tolak bala “La Nina” di Pantai Marina, Semarang tanggal 7-11-1998 Jam: 13.00 WIB,” begitu keterangan gambar yang tertera.
Pementasan yang ditunjukan oleh salah satu perkumpulan barongsai yang cukup punya nama di Semarang itu, berarti dilakukan kurang lebih 6 bulan setelah reformasi.
Kala itu, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur belum menjadi presiden. Ditilik dari stabilitas politik, agak berisiko juga mempertontonkan kebudayaan Tionghoa di ruang publik, dalam kondisi yang masih belum sepenuhnya terjaga.
Tapi, nyatanya, berdasarkan keterangan beberapa pengurus klenteng, tak ada gejala apapun pasca pertunjukan Liong.
Malam itu, saya hadir dalam diskusi tentang buku terakhir yang saya tulis. Obrolan yang keempat, setelah tiga kali sebelumnya dikaji di Semarang.
Kali ini, diskusi digelar di klenteng satu-satunya di Negeri Saba. Seorang kawan, pegiat, aktivis serta promotor dialog antar elemen di kota ini, mengajak saya untuk bersua dengan anak-anak muda di Lereng Dieng. Kolega lain, seorang abdi di Dinas Kesehatan turut memprovokasi. Keduanya adalah orang yang sangat saya hormati.
Karena didesain sebagai bedah buku, tetapi karena sebagian besar peserta belum membaca bukunya, maka obrolan menyasar ke pelbagai arah. Namun, tetap on the track di tema besar.
Kawan saya yang sudah makan asam garam di dunia pergerakan, mengendalikan forum dengan sangat elegan. Ia sejatinya paham, apa yang ada di tempurung kepala saya. Ketika ia menanyakan isi buku, saya hanya memberikannya clue 2 atau 3 kalimat. Bekal itu sudah lebih dari cukup baginya untuk menangkap apa yang tulis, meski ia sendiri belum membaca buku saya.
Di tengah-tengah diskusi, saya ingat satu hal tentang (orang) Tionghoa yang menjadi tengara Wonosobo. “Jika tak keliru, ada catatan menarik tentang Tionghoa dan Wonosobo,” saya mencoba menggurat ingatan. “Disini, dulu, ada seorang pahlawan perempuan bernama Sin Nio,” saya membuka memori mengenai seorang Tionghoa yang menjadi bagian dari pejuang kemerdekaan. “Dan dia asli Wonosobo,” saya melanjutkan.
Riwayat Sin Nio atau lengkapnya The Sin Nio saya baca melalui tulisan Azmi Abubakar. Ia mereproduksi kisah Sin Nio dari Majalah Sarinah yang terbit 6 Agustus 1984. Cerita hidupnya teramat getir. Ia hijrah ke Jakarta semasa masih menjadi “tentara” dan tak kembali lagi ke Wonosobo. Nasibnya tak beruntung. Ia berpindah-pindah tempat sekadar untuk berteduh dari panas dan hujan.
Karena hanya membaca sekilas, saya menghentikan percakapan tentang Sin Nio. Tiba-tiba kawan senior saya yang menjadi moderator itu mengambil mik. “Disini, kebetulan ada kerabatnya Sin Nio. Beliau adalah keponakannya. Silahkan, berdiri Ibu,” kata kawan yang kemana-mana tak lepas dari kupluk tumpuknya itu. Seorang ibu, yang adalah puteri dari adik Sin Nio itu kemudian berdiri.
Saya terperangah. Kaget. Tak menyangka bisa bersua dengan kerabat seorang perempuan yang berjasa bagi republik ini. Perempuan satu-satunya di barisan perang. Yang tak hanya memanggul golok dan senapan yang berhasil didapatkan setelah merebut dari pasukan kompeni, tetapi juga menjalankan dengan baik tugasnya sebagai perawat bagi tentara yang luka.
Diskusi berjalan semakin menawan. Semakin larut peserta justru semakin menyemut.
Seorang narasumber memberi perspektif menarik. Menurutnya, apa yang saya tulis adalah sebuah potret pertautan yang dinamis, betapapun masih dalam kategori perdamaian negatif, pada masyarakat perkotaan. Ia berkisah, bahwa, ada potret yang tak kalah penting untuk dicermati, yakni gambaran tentang kehidupan toleran yang ada di masyarakat bawah, pedesaan.
Disitu, lanjutnya, ada persaudaraan yang alamiah, dimana perbedaan itu dinilai sebagai sebuah kewajaran belaka. “Ada konflik, tapi itu masalah hutang piutang misalnya,” lanjut narasumber yang oleh kawan saya dikenalkan sebagai mistikus itu. Saya mencatat penting poin ini, dan, saya kira, potret demikian menarik untuk diekspor ke banyak masyarakat lain.
Dengan menyebut, pedesaan, “sang mistikus”, dalam interpretasi saya, hendak menyampaikan bahwa jika perdamaian di Semarang adalah praktik masyarakat perkotaan, kehidupan harmonis di Wonosobo merupakan praktik masyarakat pedesaan.
Kisah tentang Wonosobo kemudian didokumentasikan dalam sebuah film dokumenter bertajuk "Liyan" atau The Others.
Salah seorang teman yang baru saja pulang mempromosikan Wonosobo di Austria bercerita tentang bagaimana rasa penasaran orang-orang disana terhadap kota kecil ini.
---
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya haturkan kepada Gus Haqqi El-Anshary , Pak Jaelan Sulat dan Lintang, Mas Lutfan Emqi , teman-teman JAI Wonosobo, IJABI Wonosobo, Gusdurian Wonosobo, Pengurus Klenteng Hok Hoo Bio, narasumber dan seluruh elemen yang memungkinkan perjumpaan malam tadi begitu mengesankan.