Dieng,
sebegitu banyak batu yang tersebar di area seluas hanpir 620.000ha pastilah menyimpan
pertanyaan mendasar, darimana asal bahan-bahan batu tersebut? dan bagaimana mengangkutnya?
Junghuhn
160th lalu pernah memberi analisa mengenai hal ini, ia yang paham benar
belantara tanah para dewa, mencatat tiap detail permukaan tanahnya. Dan latar
belakangnya sebagai ahli botani dan juga geologi yang dengan kakinya sendiri
melangkah tiap jengkal tanah yang dikunjungi saat ini merupakan panduan permanen
yang masih terus diulang-ulang.
Dieng,
permukaan tanah yang saat itu tergenang air danau-danau terbelah dengan kali
tulis tepat ditengah-tengah cekungan plateau. Cekungan ini dipagari oleh
pegunungan yang menjulang tinggi, Prau, Pakuwaja, Pangonan dan Sipandu.
Kali
tulis merupakan salah satu mata air dikaki perahu mengalir dari arah kulon-lor
hingga wetan-kidul ke kaki Pakuwaja yang melewati Balekambang, telaga Warna dan
kemudian Pengilon.
Alkisah,
diceritakan dengan memanfaatkan sungai dan telaga inilah para pekerja
mengangkut bahan batu yang akan digunakan sebagai pembuatan candi Dieng. Batu
ini ditambang dari gunung Pakuwaja, yang mana bekas-bekas tatalan dan juga
bekas potongan-potongan batu besar masih terlihat.
Tambang
ini memang berada dipermukaan atas, yang kini menjadi obyek wisata Batu Ratapan
Angin. Di atas sini batu kemudian digulingkan kebawah, dipermukaan yang lebih
datar, sekitaran telaga Warna. Dari sana nanti perahu-perahu telah menanti
untuk mengangkut batu-batu ini yang kemudian dibawa menyusuri mendekat ke area
pembangunan.
Perahu
merupakan sarana yang mungkin lebih cocok waktu itu, dimana tanah Dieng yang
labil tentunya membawa kesulitan tersendiri jika menanggung beban berat
dibanding dengan transportasi darat.
Pembangunan
ini dan penambangan ini terus berlanjut, dari awal abad 7 masa Syailendra
berjaya hingga 6 abad kemudian, dimana para pekerja ini meninggalkan goresan
warna berupa 2 angka tahun dan sebuah aksara palawa disela-sela kegabutan
kesibukan mereka.
Apakah
ini benar? dan pasti? Tentu saja tidak, sejarah hanyalah tafsir yang tergambarkan
hanyalah rangkaian-rankaian peristiwa seperti potongan puzlle yang kita bersaha
susun. Kalau puzlle ada output yang membahagiakan, sejarah pun sama.
Tentunya
masih ada beragam kemungkinan lain, belum tentu penambang. Rangkaian permukaan
Pakuwaja terdapat banyak goa-goa alam, sebuah yoni mungil juga pernah ditemukan
disana, yang bisa jadi tempat itu juga digunakan sebagai salah satu tempat
mengolah spiritual, yang berarti dalam organisme aktivitas di temapt tersebut bukan
hanya pekerja kasar, namun juga para Brahmana beserta lainnya.
Maka
dari itu, yang jelas sulit terbantah adalah lokasi tambang, batu-batu candi di
Plateau memiliki karakter sama persis dengan Pakuwaja. Mungkin Pakuwaja bukan
satu-satunya pemasok, tentu masih ada gunung lain di seberang, macam Sipandu,
yang menurut desas-desus juga terdapat banyak tatal batu diatasnya.
Boleh
jadi, apabila suatu saat nanti batuan pengganti dalam proses pemugaran candi
tak harus berasal dari Merapi, yang akan telihat belang bila dipasang dan
kontras dengan batu lama karena karakternya yang berbeda. Jika begitu, mungkin
mendatangkan batu dari lokasi tambang asli akan banyak membantu dalam kamuflase
pemugaran. Mbokan.