“Wah ternyata pembicaraan kita yang ngalor ngidul ini tak terasa sudah masuk pagi yo lik?.. heuheu.” Tukas kang Iman.
“Hehe iyo tak masalah kang,
lanjut sampai shubuh kang? “lik Slamet menimpali.
“Hmm, boleh. Tak masalah mau sampai shubuh nanti atau shubuh bulan depan ayo lik..hehe”. Kang Iman menantang.
“Woh. Gaya bahasa mu kang kaya iya iyaha.”
“Ya memang benar lik, sudah wani tandang ini loh.. heuheu.”
“Tadi sampeyan menyinggung bahwa konsep dari ruwatan adalah konsep menghancurkan, saya kok terus teringat pernah baca sekilas artikel yang di dalamnya ditulis bahwa mekanisme ruwatan itu bisa terjadi sebagai rasa syukur, Seperti ketika kita memperoleh sesuatu harus kita syukuri.
Ambil contoh tradisi diadakannya ruwatan setelah panen padi sebagai wujud terima kasih kita kepada Allah.
Atau juga Ruwatan yang skalanya kecil seperti wiridan setelah shalat, apabila tidak dilakukan maka ada efek yang dirasakan."
“Lho begitu ya kang, sejak kapan sampeyan sering baca artikel.” Lik Slamet menanggapi datar.
“Wah sampeyan meremehkan saya kang, gini gini seperti saya ini referensi literasi dalam kepala ini juga banyak.” Tukas lik Slamet sambil menunjuk kepala.
“hebat juga kang saya tak habis pikir lho denganmu saya terbawa suasana yang hanya memandang dhohir ya kang. Heuheu..” kata lik Slamet.
“Monggo di lanjut kang mumpung lagi gayeng yang sampeyan omongkan.”
“Jadi begini lik.” Kang Iman memulai serius.
“Lho loh serius benar kang.”
Ini mau serius lik..ssst diemm..
“bahwa ruwat bisa seperti buang sial. Untuk bergerak dari satu titik ke titik yang lain maka perlu diadakan suatu puasa atau proses panjang sebelum seseorang merubah hidup menjadi lebih baik.
lanjut ruwatan dalam skala yang besar itu gimana kang?" tandas lik Slamet sembari merubah posisi duduknya.
Dalam negara di skala yang lebih besar, ruwat ini sebuah proses yang panjang untuk mentransformasi dari suatu keadaan kepada keadaan yang lebih baik.