Semburat cahaya
rembulan malam itu memantul di atas kolam samping rumah lik Slamet suara kodok
ngorek ber paduan suara menambah indah pembicaraan kedua kawan yang sedang
menikmati secangkir kopi dengan kepulan asap dari sedotaan rokok kretek
bertulis 432 pada bungkus. Tentu ini bukan sebuah bocoran nomor lotre maupun
togel atau oleh kebanyakan disebut togel-able.
Kang Iman
sedari awal menyimak dan mengutarakan beberapa kegelisahan yang dialami bahkan
sampai kegelisahan tentang sebuah pil-pilan; pilkades, pileg dan pil lainnya.
Lantas memantik obrolan malam dengan menyinggung tentang ruwat.
Begini lik,
saya pernah mendengar di radio mengenai ruwat, kalau teksnya bagaimana lupa
tapi yang jelas ruwat diartikan sebagai ‘membebaskan atau mensucikan atau
memulihkan ke dalam keadaan semula yang jika dalam tradisi di sekitar juga di
acarakan seperti ruwatan itu sebenarnya gimana lik? Tanya Kang Iman memantik
lik Slamet.
Hmm.. ruwat ya
kang?
“Iya”
“Ruwat atau
ruwatan ya memang betul apa yang sampeyan kemukakan tadi kang, dalam budaya
peradaban Nusantara, khususnya jawa, dikenal sebuah tradisi yang disebut
ruwatan, yang bermakna dasar penyucian kembali.” Tandas lik Slamet di atas
dipan teras rumah. Sembari menghisap rokok yang baru setengah lelaki paruh baya
ini melanjutkan obrolannya.
“Tahap awal
dari ruwatan sebenarnya berangkat dari ruwet, keruwetan itu sendiri kang, dan ruwet
pun beragam macamnya. Kemudian arti dasar ruwatan sebagaimana yang pernah saya
dengar ruwatan adalah menghancurkan.” Kata lik Slamet
“Menghancurkan?
Maksudnya lik?” Kang Iman mengejar.
“Iya
menghancurkan, menghancurkan sesuatu untuk menjadi lebih baik. Ambil contoh
kang, sampeyan merebus beras dinanak berubah menjadi nasi. Sampeyan makan tempe
lanjut diolah oleh organisme tubuh menjadi daging, itu juga bagian dari
ruwatan.”
“Walah baru
tahu saya lik yang semacam itu, anyar iki anyar bagi saya ilmu baru ini ..heuheu..”
seloroh kang Iman.
Sebenarnya ini
ilmu larang mahal untuk dikasih kepada sampeyan tapi gimana lagi kan sampeyan
kawanku.
Serius lik?
Nggak si ini
hanya umapa saja.. hehehe
Who.. takkira
serius. Tanggap kang Iman sembari nyruput kopi
Denting waktu
pada jam lawas yang menempel pada pergelangan tangan kang Iman telah
menunjukkan sepertiga malam, suara toa pemancar suara dari langgar wetan dekat
rumah lik Slamet juga sudah bergema. Kressek srekk.. “Assholaaa.. tu khoirun
minnannauuum..” suara riuh rendah yang khas suara lik Pono serak serak basah
terlantun.. menandakan sudah hampir masuk waktu shubuh, dengan dilanjut
sholawat tarhim. Kopi hitam yang terjaga pun sudah tinggal ampasnya saja.
“Wah lik tak
terasa obrolan kita ini sudah masuk pagi juga.. hehe..”
Hoiya kang,
tapi tenang tenang