Jum'at,
14 Juni 2019 bertepatan dengan 10 Syawal jadi nuansa lebaran masih terasa.
setelah sekian lama tak bersua untuk melaksanakan dinas dolan cagar budaya
maupun kuburan, kawan kawan dulur Padopokan Giri Saba kembali dinas. wkwk. Ya,
meski memang sudah biasa, hanya saja sempat libur beberapa waktu, dan sah-sah
saja karena tidak ada ikatan kedinasan dengan lembaga pemerintahan maupun
swasta. Katanya.
Poster
pun dibuat, dengan beberapa editan, maklum masih amatir dan memang sebanarnya
hal ini bukan menjadi masalah, karena baik buruknya dinilai oleh diri sendiri,
sedangkan ketika diri ini menilai karya sendiri tentulah tidak ada kata buruk,
sebab dengan berladaskan pada jarene, tidak ada yang tidak bermanfaat sesuatu
yang telah diciptakan dan dibuat, terlebih ciptaan dari Tuhan yang Maha Esa.
Seusai
Jum’atan penulis bergegas menuju Shin Foodcourt di Jawar Mojotengah, untuk
lebih tepat posisinya bisa di cek di Google map. Cuaca siang itu sedikit
mendung dan gerimis tipis pun juga telah turun seakan mengajak ngopi tipis di
sudut Shin foodcourt. Hujan bulan Juni terlebih, jadi teringat puisi Pak
sapardi, Hujan Bulan Juni. Ohh Pak Sapardi Hanya ingin ngopi dengan sederhana
di Bulan Juni~
Meski
cuaca sudah mendung dan hujan di bulan Juni ini turun, dan ndilalahnya sudah
menjadi kesepakatan tak menyurutkan untuk nandangi dolan kuburan. Bergegaslah
penulis dengan Kang Farhan meluncur tipis-tipis dengan harley davidsonnya Kang
Farhan, baru seperempat perjalanan tiba-tiba motor mati, turunlah, diotak atik
oleh kang Farhan di belai di akali sedemikian rupa tak ada perbedaan.
Istirahat~
Beberapa
menit kemudian setelah mood kembali bangkit, Sohibul motor kembali menghidupkan
namun usaha tetap tak ada hasil. Tak banyak basa basi pasrahkan ke ahlinya
tentunya. Agak beruntung jalan menurun meluncurlah motor turun, sesekali dengan
ikhtiar starter motor maupun di selah. Ketiban rezeki motor sedang berpihak,
cuss gaskeun menuju tujuan. Namun tujuan menjadi berbeda, yang awalnya
berencana ke Kuburan yang dipercaya banyak pengikut Pangeran Diponegoro di
makamkan al hasil beda, keliwatan, mustahil untuk kembali. Lanjut diputuskan
meluncur ke Makam Si Bunderan Krasak Mojotengah.
Perjalanan pun masih stabil dengan tingkat
kelancaran yang juga masih ada was-was motor kembali mati. Iya, tak dapat
disangka gara-gara pengendara motor lain yang ngawur dan secara otomatis
jongki, Kang Farhan mengalah. Alhasil motor kembali didorong, Ndilalah bengkel
tepat di depan jadi tak begitu susah mendorongnya. Perjalanan yang Asyique lur!
Wqw.
Setelah
beres diatasi bengkel dengan segala ritualnya, kami bergegas meluncur kembali
ke tujuan makam si Bunderan. Sesampainya ambil air wudhu, melihat lihat sekitar
dan sesekali mengambil video untuk sinau ngevlog lirian yang mana merupakan
bagian dari agenda hari itu. Pohon pohon yang jarang dan sudah langka pun
ditemui di area makam ini. pohon Kemuning misalnya, pohon ini yang menurut
kisah yang di ceritakan di Babad Diponegoro merupakan bagian dari tanda bahwa
Pangeran atau pengikutnya pernah singgah atau menjadi petilasan kala itu.
Tinggal
dilihat dari usia pohon tersebut yang masih muda atau sudah ratusan tahun. Tentu
ini perlu kajian yang lanjut dengan dicocokan dengan alur yang tercantum di
Babad. Serta yang perlu menjadi ingatan bersama, seringnya hampir sebuah makam
atau petilasan yang belum jelas kepastiannya langsung dikaitkan bahwa wilayah
atau barang ini atau apapun ini pada era Pangeran Diponegoro, atau “oh ini
pengikut Pangeran Diponegoro”, dan lain sebagainnya. Nah ini yang menjadi bahan
PR kita. Hah kita? Wqwq.
Masuk
area makam Sunan Bayat. Memasuki area makam yang diyakini sebagai makam Sunan Bayat
juga banyak ditemukan beberapa makam yang ada di area tersebut.
Menariknya
di area makam ada ornamen berupa pahatan relief burung, dengan bentuk yang
khas, dan sama, terdapat di beberapa batuan kuna di sekitar Wonosobo. Di makam
kuna yang diyakini sebagai makam pangeran Bayat atau sunan Bayat di dusun
sibunderan, ada tiga hewan yang terpahat: ular, tupai/asu atau anjing. (?), dan
burung entah burung beo atau apa, yang bentuknya sama dengan pahatan di candi
watu gong dan candi di Dieng. Entah itu adalah penggambaran aksara atau
juga sebuah tahapan dalam hidup untuk menjaga sifat kebinatangannya dan menahan
kemudian mengolahnya menjadi sebuah hal kebaikan dan kebenaran.
Makam
sunan Bayat di Wonosobo berada di tempat paling tinggi di komplek makam, yang
juga digunakan sebagai pemakaman umum. Di sekitar makam Sunan Bayat
terdapat beberapa makam dengan nisan batu yang cukup besar dan bentuk yang beragam.
Di luar, terdapat satu makam yang cukup panjang, sekitar 5 meter. Beberapa
meter di sebelah barat terdapat makam yang dibangun sedikit berbeda, bagian
jirat/kijing sekira tinggi satu meter, diatasnya terdapat dua batu nisan cukup
besar.
Masih dengan ulasan pahatan burung
yang mirip beo, burung beo adalah burung peniru dan mengucapkan kembali kata
apa yang diajarkan. Menurut tulisan seorang Arkeolog yang pernah penulis baca
bahwasanya seekor beo ketika mengucapkan kembali kata apa yang diajarkan selalu
tanpa mengurangi, tanpa menambah ataupun memodifikasinya .
Motif pahatan ini pun sering ditemui
pada dinding luar mengelilingi bangunan candi, sesuai dengan sifat akan burung
itu. Upacara yang dilakukan oleh pendeta, baik dari ajaran Dhamma ataupun Veda,
sang pendeta tidak akan mengurangi, menambah, atau memodifikasi. Ajaran2 itu di
ucapkan kembali kepada umat, untuk ditirukan sesuai dengan apa yang didengar.
Beo atau Suka dalam sanskerta merupakan simbolis akan suatu kebenaran transmisi
suatu ajaran.
Sebagaimana candi adalah manifestasi ruang akan ketuhanan, simbol alam semesta, alam dewa. Candi juga kadang digambarkan sebagai bentuk 4 Dimensi rangkuman kitab suci, maka berbagai ornamen baik tata, hingga cara tak begitu saja sembarang ditampilkan. Dengan memahami simbol-simbol yang tersurat, sama artinya dengan memahami apa yang diajarkan dalam Dhamma ataupun Veda. Mungkin sama halnya ketika kita mengolah untuk menjadi mutjahid, ijtihad, taqlid, ijtima’ dan lain sebagainnya.
Sebagaimana candi adalah manifestasi ruang akan ketuhanan, simbol alam semesta, alam dewa. Candi juga kadang digambarkan sebagai bentuk 4 Dimensi rangkuman kitab suci, maka berbagai ornamen baik tata, hingga cara tak begitu saja sembarang ditampilkan. Dengan memahami simbol-simbol yang tersurat, sama artinya dengan memahami apa yang diajarkan dalam Dhamma ataupun Veda. Mungkin sama halnya ketika kita mengolah untuk menjadi mutjahid, ijtihad, taqlid, ijtima’ dan lain sebagainnya.
Catatan di atas bukanlah catatan
ngilmiah maupun dari akademisi, ahlinya ahli, intinya inti, hanyalah catatan
lirian yang sedang berikhtiar berproses mencari sebuah cerita-cerita yang asyik
agar menjadi sebuah kebulatan cerita yang tak hanya jare-jare dan langsung di
percaya tetapi ada sanad yang bersambung. Mbokan.
Vlog lirian part 1 https://www.youtube.com/watch?v=B4rek-4PJ4Y&t=3s
Vlog lirian part 1 https://www.youtube.com/watch?v=B4rek-4PJ4Y&t=3s