Wonosobo berasal dari dua kata yaitu wana dan saba. ‘Wana’ berasal dari bahasa kuno yang berarti sawah, alas atau hutan sedangkan ‘saba’ berarti dikunjungi, berarti hutan yang sering dikunjungi, Wonosobo dikenal sebagai bagian dari tumenggungan atau kabupaten pasca perang Diponegoro pada tahun 1825 M. Sedangkan pada masa kesultanan jogjakarta, sebagian wilayah ini masuk wilayah Ledok dan Gowong yang secara administratif disatukan dengan Jabarangkah.
Mengenai nama Wonosobo saat ini yang menjadi nama Kabupaten, berasal dari
nama Wanasaba (wanusaba) sebuah dusun
yang berada di desa Plobongan Kecamatan Selomerto. Dusun ini pada masa perang
Diponegoro dijadikan Tumenggungan Wanasaba dengan dipimpin salah seorang
tumenggung. Pasca perang Diponegoro oleh pemerintah Belanda sekitar tahun 1832
M, pusat pemerintahan dipindahkan ke sebelah utara alun-alun Wonosobo hingga
saat ini, sejak dulu Wonosobo merupakan tempat pertama timbulnya aktifitas Budaya
dan kekuasaan politik orang-orang yang beragama
Hindu pada masa Dinasti Wangsa Syailendra pada abad ke VII sampai dengan
XIII M.
Disalah satu bagian dari dataran
tinggi wonosobo terdapat Desa yang di sebut Desa Dieng. Dieng adalah salah satu
Desa yang terletak didataran tinggi di Jawa Tengah yang masuk pada wilayah Kabupaten
Wonosobo dan sebagian masuk pada wilayah Kabupaten Banjarnegara, letaknya di
sebelah barat kompleks Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing, asal mula nama Dieng dari
bahasa Kawi dan terdiri dari dua kata yaitu ‘Di’ yang berarti tempat
dan Hyang yang berarti Dewa, jadi Dieng adalah tempat bagi para dewa bersemayam.
Dieng sangat terkenal dikalangan masyarakat
sekitar yang berada di bawah kaki Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing, bahkan
hingga ke mancanegara. Salah satu alasan mengapa dieng begitu fenomenal
dikalangan orang–orang adalah keelokan daerahnya yang asri, posisi alamnya yang
sangat indah dengan panorama Gunung, telaga, candi serta situs-situs yang
menunjukkan tentang aktivitas masyarakat pada masa lalu. Dataran tinggi Dieng
merupakan daerah yang subur dan kekayaan alamnya yang tak tertandingi. Gunung
Dieng, Sumbing dan Sindoro yang memagari kota sejuk ini menambah keindahan
Wonosobo yang asri, hawanya yang sejuk tanahnya subur, disana sini terlihat
hamparan tumbuh-tumbuhan dan di sebagian daerah ini terdapat perkebunan teh
yang membentang bagaikan permadani hijau besar indah dan lebar.
Saat ini, Dieng merupakan daerah yang
di tuju banyak orang untuk merasakan keindahan dunia. Dieng juga dijuluki
sebagai negri di atas awan karena letaknya yang berada di antara tiga
pegunungan yang membuat hawa di daerah Dieng terasa dingin dan sejuk, julukan
lain untuk Dieng adalah Bumi kayangan, konon Dieng pada masalalu adalah pusat
kerajaan Hindu Budha terbesar di Wonosobo
yang meninggalkan jejak berupa Candi Arjuna , Candi Bima dan sebagian candi
lainya. Dibalik keindahan panorama alam yang saat ini sangat terkenal tersebut,
tersimpan sejarah yang membuat Dieng menjadi begitu fenomenal dan menarik bagi
masyarakat sekitar dan masyarakat mancanegara
Sekitar abad ke 17 M datanglah tiga orang utusan, saat itu Dieng masih banyak
didiami (menurut kepercayaan orang pada masa lalu) oleh dewa-dewi Hindu,
seorang utusan dari kerajaan Mataram kuno diperintah untuk membuka wilayah
Dieng dan memperluas daerah kerajaan Mataram juga dalam misi meyebarluaskan
agama islam- yang bernama Kiai Kolodete dan Isterinya Nyi Roro Ronce juga bersama
dengan Kiai Walik, Kiai Wiragati adiknya Kiai Kolodete, Kiai Karim, Kiai Walik
berada di daerah Wonosobo yang kala itu masih berupa hutan belantara, yang kala
itu dipercaya masih didiami oleh para jin-jin dan roh-roh halus. Ada yang
disebut Genderwo, Pocong, Kuntilanak, buto ijo, tuyul dan Banaspati yang
bentuknya berupa bola api yang beterbangan. Genderwo yang memiliki badan besar
kira-kira melebihi 50 meter, pocong yang digambarkan memakai kain kafan lalu
berjalan dengan melompat-lompat, Kuntilanak banyak dibicarakan karna terkenal
dengan sosoknya yang mengerikan, dengan memakai kain putih berbentuk seperti
daster berukuran besar dan panjang dengan dipenuhi percikan darah di bagian
belakang dan depan, lalu memiliki rambut panjang dan terurai, rambut panjangnya
terurai mencapai kaki, lalu kuntilanak tersebut mengendong anak, Buto Ijo
berbadan besar hampir menyerupai genderwo namun Buto Ijo memiliki badan dengan
warna hijau atau ijo dan badanya sangat gemuk, serta memiliki mata yang merah
darah, Tuyul digambarkan berbentuk kecil dan memiliki kepala yang gundul,
kebanyakan yang dapat melihat tuyul adalah anak-anak kecil , karena ukuran
tubuh tuyul yang hampir sama dengan anak kecil, Banaspati yang sekarang disebut
mirip seperti bola api yang terbang dan mengejar orang-orang yang dirasanya
mengganggu keberadaanya. Kono, makhluk makhluk tersebut sering muncul pada
malam selasa kliwon dan jum’at kliwon.
Kiai Walik yang telah berada di
Wonosobo merupakan arsitek pembangunan kota,. Kiai Walik dikenal sebagai sosok
kiai yang nyentrik, dari perkataanya yang terkadang aneh dan bersifat meramal,
yang kemudian rata-rata menjadi kenyataan. Seperti, suatu saat kiai Walik itu
hendak menanam pohon beringin walik (pohon beringin yang daunya terbalik), lalu
beliau berkata “cung ing kono mbesok dadi papan sobo lan kanggo
olah kanuragan “ tempat ini sekarang menjadi paseban yang dikenal dengan
alun-alun. Ada pula cerita yang
mengatakan bahwa suatu saat kiai Walik sedang menabur bibit padi, sembari
berkata “ini akan menjadi tempatnya bagi
orang-orang jahat” dan sekarang tempat tersebut menjadi penjara yang
terletak di daerah sekitar alun-alun Wonosobo. Begitu pula dengan tempat yang
sekarang ini menjadi pasar Wonosobo. Beliau berkata juga sembari menabur bibit
padi ditempat tersebut “disina akan
menjadi tempat bagi orang mencari nafkah”
Kiai Kolodete yang menetap
di Dieng selama berpuluh-puluh tahun dan sesuai misi awal, membawa ajaran–ajaran
agama Islam untuk disebarkan pada masyarakat Dieng yang kala itu masih
mememiliki kepercayaan yang kental dengan roh-roh halus. konon, Kiai Kolodete
bersemayam di pegunungan Dieng dan diperkirakan moksa di Gunung Kendil yang tak
jauh dari Kawah Sikidang Dieng. Saat ini bisa kita lihat di puncak gunung ada
bangunan pendapa kecil tempat ziarah, dan tempat tersebut adalah tempat Kiai
Kolodete moksa. Konon berdo’a ditempat tersebut akan cepat dikabulkan.
Ada sebuah cerita tentang Kiai
Kolodete yaitu menurut salah satu sumber mengatakan bahwa kiai Kolodete suatu
hari dicari oleh Kiai Wiragati, beliau lalu menyambangi tempat kiai Kolodete
bertapa, setelah menunggu beberapa lama Kiai Kolodete masih belum juga kembali,
maka beliaupun pulang ke rumahnya. Hingga suatu hari, ketika Kiai Wiragati
sedang menggarap sawahnya, kerbau yang membajak sawahnya berlari tanpa sebab,
lalu beliau mengejarnya. Akan tetapi si kerbau masih berlari, sehingga kiai
Wiragati tidak bisa menangkapnya. Demikian kejar-kejaran berlangsung beberapa
lama, akhirnya kerbau berhenti didepan sebuah gua di Gunung Dieng. Goa itu
merupakan sebuah keraton makhluk halus (Makhluk siluman) yang lengkap dengan
penjaganya. Ketika Kiai Wiragati sampai di muka istana, ia ditanya oleh makhluk
halus penjaga goa. Sang penjaga (yang makhluk halus tersebut) bertanya asal
usul dari kiai Wiragati dan apa tujuan beliau bertandang ke goa ini. Beliau
menjawab bahwa ia adalah kiai Wiragati adik dari kiai Kolodete dan bermaksud
menangkap kerbau bajaknya yang berlari ke depan goa ini. Kiai Wiragati lalu
diajak masuk oleh sang penjaga untuk menghadap rajanya. Saat Kiai Wiragati
sampai di dalam goa tersebut, beliau mendapati bahwa ternyata raja dari makhluk
halus tersebut adalah Kiai Kolodete, kakaknya yang sudah beberapa lama beliau
cari. Kiai Kolodete saat itu tidak lagi berbentuk manusia, melainkan telah
berubah menjadi makhluk halus. Dalam pertemuan itu Kiai Kolodete mengatakan
bahwa telah lama ia ingin bertemu adiknya, tetapi tidak bisa karena sekarang dirinya
sudah menjadi makhluk halus. Kedatangan Kiai Wiragati ke istananya merupakan
kehendak Kiai Kolodete. Kemudian dia berpesan kepada adiknya bahwa barang siapa
yang ingin terkabul keinginanya supaya menyiapkan kegemaranya, yaitu Jodo Bakar
dan wedang Jembawo (kopi dicampur santan dan gula), selanjutnya beliau
menyerahkan kunir (kunyit) dan encis (keris dalam ukurang yang kecil) sambil
berkata:
“bawalah benda ini dan berikan encis
ini ke salah seorang keturunanmu. Kelak keturunan yang menyimpan encis ini akan
menjadi orang besar dan satu lagi pesanku sebelum berjalan tujuh langkah dari
tempat ini janganlah engkau menoleh kebelakang”
Selesai menerima pesan-pesan itu, Kiai
Wiragati lalu meninggalkan tempat dengan tanpa menoleh kebelakang. Sebelum
berjalan tujuh langkah, terjadilah suatu keajaiban atau keanehan, yaitu Kiai Wiragati
tiba-tiba sudah sampai dimuka rumahnya.
Sesampainya dirumah kunyit
pemberian Kiai Kolodete diceritakan berubah menjadi emas dan Kiai Wiragati menjadi
orang yang kaya mendadak, sedangkan encisnya disimpan baik-baik dan Kiai
Wiragati yang sudah menjadi orang kaya berkat pemberian Kiai Kolodete berupa
kunyit dan encis telah ditutup dengan kisah lanjut yaitu pertemuanya dengan
Bupati Wonosobo, Ki Tumenggung Joyo Negoro. Dan pada akhirnya encis tersebut
diserahkan kepada penguasa baru yang konon orang-orang yang diangkat jadi
penguasa adalah mereka-mereka yang dekat dengan pemerintahan Mataram Islam
Yokyakarta.
Kiai Kolodete dipercaya sebagai leluhur
sekaligus penguasa dataran dataran tinggi Dieng. Semasa kecilnya kiai Kolodete memiliki
rambut Gimbal. Dialah yang mewariskan rambut gimbal pada anak-anak di seputar
Dieng, menurut mitosnya kiai Kolodete merasa terganggu akan rambut gimbalnya. Maka,
sebelum meninggal ia berpesan pada anak cucunya agar membantu dalam menghadapi
gangguan rambut gimbal tersebut dan juga suatu saat Kiai Kolodete berkata tidak
akan mencukur rambutnya sebelum masyarakat Dieng makmur.
Rambut gimbal Kiai Kolodete hingga
kini masih dititiskan kepada anak–anak kecil yang ada di Dieng, maka sebagian
besar anak–anak Di Dieng memiliki rambut Gimbal, disekitar wilayah dataran
tinggi Dieng juga dilereng sebelah barat gunung sindoro dan gunung sumbing
anak-anak yang berambut gimbal juga diyakini keturunan Eyang Kiai Kolodete yang
konon berambut gimbal. Anak-anak gimbal tersebut sering disebut anak-anak
sukerta atau diganggu, anak sukerta adalah anak yang dicadangkan menjadi mangsa
dari Batarakala. Agar kembali sebagaimana anak manusia yang wajar maka harus
dibersihkan dari sesukernya (gimbalnya) anak yang memiliki rambut gimbal
dipercaya memiliki garis keturunan dengan kiai Kolodete. Anak yang berambut
gimbal ini diperlakukan secara istimewa oleh orang tuanya dan sebisa mungkin
segala permintaanya dituruti oleh orang tuanya karena diyakini permintaan
tersebut tidak semata-mata keinginan dari sang anak, namun juga merupakan keinginan
dari sang leluhur dan jika anak-anak itu diperlakukan secara istimewa akan
mendatangkan rizki bagi kedua orang tuanya.
Suatu hari ketika anak yang telah
ditakdirkan akan memiliki rambut gimbal
mula-mula anak itu akan mengalami demam yang tinggi yang kemudian diikuti
dengan merekatnya helai-helai rambut yang kemudian menjadi gimbal, anak yang
memiliki rambut gimbal ini harus mengikuti syukuran, atau yang disebut sebagai
upacara ruwatan. Ruwatan berasal dari kata ‘ruwat’ atau Rumuwat atau Mengruwat yang
berarti membuat tidak kuasa, menghapuskan kutukan, menghapuskan kemalangan,
noda dan lain-lain. Ruwatan merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Dieng
setiap satu tahun sekali untuk mencukur rambut gimbal tersebut, mula-mula
kegiatan ini dilakukan peroranngan atau satu persatu, namun karena terlalu
banyak anak-anak yang memiliki rambut gimbal untuk mempersingkat maka dilakukan
dengan upacara masal, proses dimulai dari napak tilas ketua masyarakat Dieng
yaitu kunjungan ke tempat dimana Kiai Kolodete dan Ni Roro Ronce pernah
berkunjung. Diantaranya adalah Candi Dwarawati, komplek Candi Arjuna, Candi
Gatotkaca, Candi Bima , Sendang Maerokotjo, Telaga Balikambang, Kawah Sikidang,
komplek Pertapaan Mandalasari, Kali Kepek, dan Komplek Pemakaman Dieng. Pemilik
rambut gimbal kemudian diarak menuju tengah pelataran komplek Candi Arjuna,
diiringi dengan tari-tarian seperti tari Rampak, tari Yakso atau tari Waros. Sebelum
poses pemotongan rambut, anak harus mengatakan apa yang menjadi keinginanya,
setelah orang tua anak atau kerabatnya memenuhi keinginan yang disebutkan anak
ketika bangun tidur maka proses pemotongan rambut dapat dilaksanakan. Pernah
terjadi suatu kasus dimana anak yang dicukur tersebut tidak dipenuhi
keinginanya, maka selesai dicukur anak tersebut mendem atau kemasukan jin. Maka pemenuhan keinginan anak sudah
menjadi kewajiban bagi orang tua atau kerabatnya.
Waktu pelaksanan upacara dilaksanakan pada
malam hari, setelah isya’ bersamaan dengan hari kelahiran (berdasarkan weton, hari
dan pasaranya) atau hari yang dianggap baik menurut masyarakat setempat, yaitu
dua atau empat hari setelah weton atau neptu anak yang bersangkutan. Adapun
bulan yang dipakai untuk malaksanakan ruwatan yaitu bulan menurut perhitungan
kalender Islam atau bulan yang dianggap baik yaitu bulan besar (Dzulhijah),
Maulud, Ba’da Maulud, Sapar, Jumadilawal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, dan
Syawal.
Di dalam proses pemotaongan inilah
terdapat akulturasi antara nilai-nilai tradisi atau kebudayaan lokal dan nilai-nilai Islam,
seperti halnya dalam upacara ini masih terdapat sesaji-sesaji sebagai
perlengkapan upacara yang menandakan sebagai tradisi lokal, sedangkan nilai-nilai islamnya terdapat pada
do’a-do’a yang digunakan. Untuk perlengkapan acara atau prosesi pemotongan
tersebut, perlu disediakan beberapa hal yang harus ada misalnya dengan adanya
tumpeng yang terbuat dari nasi (bukan nasi ketan atau nasi merah) yang
berbentuk kerucut, merupakan perlambangan dari kekuasaan tuhan, tumpeng
rombyong menggambarkan alam seisinya. Lauk pauk yang ditancapkan ditumpeng
menggambarkan rambut gimbal, sebagian masyarakat berpendapat tumpeng rombyong
ditunjukkan kepada Kiai Kolodete. Tujuan dilaksanakanya ruwatan ini menurut masyarakat
Dieng adalah sebagai permohonan kepada
tuhan untuk menghilangkan mala (sial) yang mengenai anak tersebut, disamping
juga memohon agar anak tersebut terbebas dari pengaruh kesaktian roh Kiai
Kolodete.
Oleh karena itu, anak-anak yang memiliki
rambut gimbal harus diruwat dengan mencukur rambutnya yang gimbal, setelah
diruwat masyarakat setempat menyakini
anak-anak tersebut akan diberi
keselamatan dalam hidupnya, upacara ruwatan ini dilaksanakan setelah perintah
atau keinginan dari anak yang memiliki rambut gimbal tersebut dipenuhi dan jika
keinginanya tidak dapat dipenuhi maka rambut gimbalnya yang telah dicukur akan
tumbuh kembali atau adanya gangguan fisik dan psyikis. Hingga kini anak-anak
yang sudah diruwat hidup layaknya anak-anak yang lain dan memiliki rambut yang
normal, upacara tersebutpun masih langgeng hingga sekarang. Tetapi sekarang,
ada pula yang melaksanakan cukuran rambut gimbal tersebut dirumah anak berambut
gimbal dengan iringan bacaan barzanji, rambut yang gimbal dipotong oleh salah
satu anggota keluarganya. Lalu dibopong dan berputar mengelilingi bagian dalam
orang-orang yang ikut dalam berzanjian tersebut. Pada akhirnya didoakan oleh
seorang kiai dan diberikan amplop sodakoh. Akan tetapi karena suatu sebab,
entah tidak dipenuhinya keinginan anak atau yang lain, rambut gimbal tersebut
tumbuh kembali. Pada pemotongan kedualah, baru rambut gimbal itu tidak tumbuh
lagi. Itu menurut pengalaman seorang anak kecil beberapa tahun lalu. Tetapi
hingga saat ini yang pasti tetap ada acara yang mengiringi pemotongan rambut
gimbal. ....................................................................................................................................