Kitab Primbon, warisan ulama masa lalu
Sering kali ketika kita mendengar
bahkan menyebut kata primbon, asosiasi orang-orang langsung menuju ke klenik, hal-hal
kuno, kejawen, bid’ah, sampai syirik dengan nada yang menghina, atau sampai Hindu-Budha.
Bahkan ada nuansa mengekslusi Islam di dalamnya. Padahal jika kita jeli dan
membacanya secara teliti, primbon adalah ungkapan cara orang Jawa Islam dahulu
menafsir kan dunianya, seturut dengan pandangan ontologi-metafisiknya.
Dari sudut penamaan kitabnya,
sembilan dari 10 jumlahnya berasal dari bahasa Arab. Mulai kitab primbon betal
jemur adam-makna, lukmanakim adam-makna, Qomarulsyamsi adam-makna, naklasanjir
adam-makna, Quraysin adam-makna, ajimantra, kunci betaljemur attasadur
adam-makna, bektijamal adam-makna, shahdatsathir adam-makna.
Apalagi jika ditunjukkan kutipan
sabda kanjeng nabi, perkataan baginda Sayyidina ‘Ali, wirid yang diajarkan para
wali tanah Jawa, kidung mantra Sunan Kalijaga, wirid patekah, hingga
rajah-rajah dengan formula huruf-huruf arab, nati bakal memiliki kesamaan
layaknya kitab mujarobat atau kitab Syamsu Ma'arif yang beredar di kalangan
pesantren.
Boleh jadi sejak perubahan pola
pikir sains mengambil alih seluruh ruang-tafsir keagamaan (Islam) kita, kita
tak punya akar lagi yang menyambungkan pemahaman kita. Atau cara pandang Islam
yang dipertentangkan dengan Jawa, padahal kalau lebih teliti lagi Islam-Jawa
atau Jawa-Islam adalah sebuah pasangan ibaratnya tumbu ketemu tutup
sehingga menjadi jangkep. Dampaknya kita tak lagi mengamininya sebagai
warisan kebudayan Islam- Jawa pesantren, misalnya.
Padahal jika kita sedikit berani
menerjunkan diri untuk menggeluti kitab-kitab ini, maka kita akan disuguhi,
khususnya dalam attasadur, paparan pandangan dunia islam batin (baca:
kebatinan) yang terangkum dalam sembilan kitab suluk (baca: tembang sufi) dari
mulai wirayat jati, laksita jati, panunggal jati, karana jati, purba jati,
saloka jati, sasmita jati, hingga wasana jati.
Misalnya dalam klaim yang ditulis di
wirayat jati, sebagai contoh, adalah wirid (ajaran) yang disarikan dari para
wali tanah Jawa, tentang ilmu batin (islam), tentunya menurut tafsir
orang-orang jawa di masanya.
Tapi mungkin itu cerita yang tak
lagi kita punyai, atau bahkan kita pahami saja. Keberagamaan kita akhirnya
menjadi berlawanan dengan sejarah, main tabrak sana-sini, serta menilai
keberagaman islam lama dengan standard islam kaku-saklek, atau bahkan keras kita
hari ini. Kita tak pernah benar-benar tahu, atau tak mau tahu, warisan ajaran
kebatinan para Wali dan para sesepuh-leluhur yang mendahului kita.
Akhirnya pencapaian pemahaman
keislaman yang menghunjam hingga aspek paling bathin yang ditinggalkan secara kaya
dalam bentuk manuskrip serta naskah lama, tak menggugah sedikit pun kita, orang
yang mendewakan kemajuan ini, untuk sekedar menengok dan mengambil sari pati
hikmah dan pelajarannya. Ibarat busur panah yang seharusnya kita menarik busur
kebelakang sebagai gambaran menelusuri warisan masa lalu untuk melesat menuju
masa depan, memasadepankan masa silam, jadi belajar dari simbah-simbah kita
dulu sebab kita tak mungkin lepas dari gari yang diturunkan oleh leluhur kita.
Namun, kita malah dengan asyik dan ubet
mengambil ajaran kulit atau tampak yang disebarkan dari luar. Pada akhirnya bagaimana
lagi? namanya saja belum tahu, dan katanya, tidak bisa dan tidak boleh dipaksa
untuk tahu.