Iklan

Selasa, 16 Juli 2024, 02.45.00 WIB
Last Updated 2024-07-16T09:45:17Z
budaya

Primbon, Warisan Ulama Masa Lalu

 


Kitab Primbon, warisan ulama masa lalu

Sering kali ketika kita mendengar bahkan menyebut kata primbon, asosiasi orang-orang langsung menuju ke klenik, hal-hal kuno, kejawen, bid’ah, sampai syirik dengan nada yang menghina, atau sampai Hindu-Budha. Bahkan ada nuansa mengekslusi Islam di dalamnya. Padahal jika kita jeli dan membacanya secara teliti, primbon adalah ungkapan cara orang Jawa Islam dahulu menafsir kan dunianya, seturut dengan pandangan ontologi-metafisiknya.

Dari sudut penamaan kitabnya, sembilan dari 10 jumlahnya berasal dari bahasa Arab. Mulai kitab primbon betal jemur adam-makna, lukmanakim adam-makna, Qomarulsyamsi adam-makna, naklasanjir adam-makna, Quraysin adam-makna, ajimantra, kunci betaljemur attasadur adam-makna, bektijamal adam-makna, shahdatsathir adam-makna.

Apalagi jika ditunjukkan kutipan sabda kanjeng nabi, perkataan baginda Sayyidina ‘Ali, wirid yang diajarkan para wali tanah Jawa, kidung mantra Sunan Kalijaga, wirid patekah, hingga rajah-rajah dengan formula huruf-huruf arab, nati bakal memiliki kesamaan layaknya kitab mujarobat atau kitab Syamsu Ma'arif yang beredar di kalangan pesantren.

Boleh jadi sejak perubahan pola pikir sains mengambil alih seluruh ruang-tafsir keagamaan (Islam) kita, kita tak punya akar lagi yang menyambungkan pemahaman kita. Atau cara pandang Islam yang dipertentangkan dengan Jawa, padahal kalau lebih teliti lagi Islam-Jawa atau Jawa-Islam adalah sebuah pasangan ibaratnya tumbu ketemu tutup sehingga menjadi jangkep. Dampaknya kita tak lagi mengamininya sebagai warisan kebudayan Islam- Jawa pesantren, misalnya.

Padahal jika kita sedikit berani menerjunkan diri untuk menggeluti kitab-kitab ini, maka kita akan disuguhi, khususnya dalam attasadur, paparan pandangan dunia islam batin (baca: kebatinan) yang terangkum dalam sembilan kitab suluk (baca: tembang sufi) dari mulai wirayat jati, laksita jati, panunggal jati, karana jati, purba jati, saloka jati, sasmita jati, hingga wasana jati.

Misalnya dalam klaim yang ditulis di wirayat jati, sebagai contoh, adalah wirid (ajaran) yang disarikan dari para wali tanah Jawa, tentang ilmu batin (islam), tentunya menurut tafsir orang-orang jawa di masanya.

Tapi mungkin itu cerita yang tak lagi kita punyai, atau bahkan kita pahami saja. Keberagamaan kita akhirnya menjadi berlawanan dengan sejarah, main tabrak sana-sini, serta menilai keberagaman islam lama dengan standard islam kaku-saklek, atau bahkan keras kita hari ini. Kita tak pernah benar-benar tahu, atau tak mau tahu, warisan ajaran kebatinan para Wali dan para sesepuh-leluhur yang mendahului kita.

Akhirnya pencapaian pemahaman keislaman yang menghunjam hingga aspek paling bathin yang ditinggalkan secara kaya dalam bentuk manuskrip serta naskah lama, tak menggugah sedikit pun kita, orang yang mendewakan kemajuan ini, untuk sekedar menengok dan mengambil sari pati hikmah dan pelajarannya. Ibarat busur panah yang seharusnya kita menarik busur kebelakang sebagai gambaran menelusuri warisan masa lalu untuk melesat menuju masa depan, memasadepankan masa silam, jadi belajar dari simbah-simbah kita dulu sebab kita tak mungkin lepas dari gari yang diturunkan oleh leluhur kita.

Namun, kita malah dengan asyik dan ubet mengambil ajaran kulit atau tampak yang disebarkan dari luar. Pada akhirnya bagaimana lagi? namanya saja belum tahu, dan katanya, tidak bisa dan tidak boleh dipaksa untuk tahu.