Iklan

Sabtu, 18 Juli 2020, 07.02.00 WIB
Last Updated 2020-07-18T14:02:06Z
Nge-book

Menyelami Novel Dari Hari Ke Hari




Penulis                         : Mahbub Djunaidi
Penerbit                       : Diva Press
Tahun Pertama Terbit  : Maret 2018
Jumlah Halaman          :  244

Novel ini terdiri dari 5 bagian cerita, 1 bagian cerita tentang penulis dan ditutup oleh tulisan Bapak Umar Said tentang kehidupan sehari-hari sang penulis selama beliau hidup. Novel ini mengambil latar belakang  di awal kemerdekaan Indonesia dalam rentang waktu 1946 -1954. Novel ini mengambil sudut dari anak Pak Junaidi dimana merupakan seorang pegawai Jawatan Mahkamah Islam Tinggi.

Berawal dari mata seorang bocah belasan tahun, makna revolusi mungkin belum dapat dipahami sepenuhnya. Ia juga belum tentu mengerti benar, mengapa negerinya selalu dilanda peperangan; entah perang melawan bangsa asing, entah perang sesama bangsa sendiri. Namun, yang jelas, ia tak mampu berbuat apa-apa dan hanya menurut, ketika ayahnya, Pak Djunaidi, harus hijrah keluar Jakarta.

“Revolusi sudah pecah, ibukota pindah ke Yogya mengenai makna revolusi, karena ini barang baru, kalian nanti akan paham belakangan. Jawatanku sendiri pindah ke Solo, kenapa begini, sudah bukan urusan kita. “Begitulah Pak Djunaidi berpesan kepada seluruh anggota keluarganya.

Kemudian esoknya, mereka pindah; meninggalkan Jakarta dengan kereta api yang akan membawa ke Solo. Dalam perjalanan, di antara hiruk-pikuk para penumpang, mereka sempat berkenalan dengan seorang lelaki gemuk yang pekerjaannya menjual ban mobil pada pemerintah republic yang baru berusia setahun itu. Ternyata, kemudian diketahui bahwa lelaki gemuk itu adalah seorang Raden Mas.

“Siapa nama makhluk ini? Kubaca: Raden Mas X. astaga, betapa revolusi sudah merubah status seorang bangsawan menjadi pedagang ban mobil, berdesakan di atas kereta api, tersuruk-suruk ke kolong kursi, tertawa begitu kerasnya, beramah-tamah dengan hampir setiap orang” (hlm. 18).

Di Solo, keluarga Muhammad Djunaidi tinggal di daerah Kauman walaupun tempat bekerjanya di Mahkamah Islam Tinggi, kantor induknya berada di Yogyakarta, ibukota republik Indonesia waktu itu. Anaknya, yang berumur sekitar 13-an tahun itu, mulai masuk sekolah kembali

Selain bersekolah di sana, ia juga sekolah agama, di samping harus menjalankan kewajiban-kewajiban agama, sebagaimana yang dianjurkan ayahnya. Tentu saja, kegiatan bermainnya tak ketinggalan, seperti umumnya anak-anak seusianya. Pecahnya agresi Belanda yang disusul dengan disepakatinya Perjanjian Renville, ternyata sama sekali tidak membawa perbaikan pada nasib rakyat. Kekacauan dan terjadinya peperangan akibat pelanggaran gencatan senjata, masih kerap membuat keadaan makin tidak menentu. Maka, hilir-mudikya tentara yang memanggul senjata, tentara yang hijrah, penduduk yang mengungsi atau balik dari pengungsian, ibarat sudah menjadi pemandangan sehari-hari.

Begitu pula ketika tentara Divisi Siliwangi meninggalkan Jawa Barat dan datang ke daerah sekitar Yogyakarta, rakyat hanya menyambutnya dengan sorak-sorai atau melambai-lambaikan tangan. Pada saat yang demikian itulah, keluarga Muhammad Djunaidi kedatangan Sersan Husni, tentara dari Divisi Siliwangi, yang terpaksa ikut pasukannya meninggalkan Bandung. Sersan Husni pula yang merawat kakek si bocah di dalam pengungsiannya. Dari Sersan itu pula diketahui keganasan Westerling serta tentara Indo-Belanda-Turki yang kejam dan tak mengenal belas kasihan. Mereka melakukan pembunuhan massal di Sulawesi dan Jawa Barat.

Bagi si bocah kecil itu, semua peristiwa yang didengarnya sama sekali tidak mengurangi kegiatan sekolahnya, mengaji atau bermain-main dengan teman sebayanya. Sampai bulan Agustus 1948, kehidupan keluarga Djunaidi, berjalan di antara hiruk-pikuk dan gema pertempuran, baik pertempuran melawan pasukan Belanda, maupun pertempuran yang terjadi di kalangan para pejuang Indonesia. Pada bulan Agustus 1948,untuk pertama kalinya diselenggarakan Pekan Olahraga Nasional dengan pusat kegiatan di Stadion Sriwedari. Namun, pada bulan berikutnya, di Madiun terjadi pemberontakan PKI Muso.

Front Demokrasi Rakyat melakukan penindasan, intimidasi, ancaman. “Hanya ada dua piliha: ikut Muso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta yang insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia yang merdeka tidak dijajah oleh Negara mana pun”. 

Begitulah, dalam kebingungan, rakyat dibuat cemas dan takut karena PKI tidak hanya melakukan ancaman dan teror, tetapi juga penculikan dan pembunuhan. “Ponorogo diserbu batalyon Sobirin Muchtar, batalyon Sabaruddin menuju Dungus ke arah Madiun, Gubernur Militer, Kolonel Gatot Subroto, memerintahkan pasukan Siliwangi menghantam dari arah barat, batalyon Kosasih menuju Pati, batalyon Daeng bergerak ke Cepu dan Blora, batalyon Darsono dan batalyon Lucas langsung bergerak menuju jantungnya, Madiun”. Pemberontakan PKI akhirnya berhasil ditumpas. Amir Syarifuddin tertangkap di Pati, kemudian dibawa ke Yogyakarta untuk diadili. Pemberontakan itu makin membuat rakyat sengsara.

Tiga tahun lamanya keluarga Djunaidi ikut menjadi saksi sejarah, betapa masa awal kemerdekaan negeri dilanda berbagai tantangan dan cobaan berat. “Saya lihat sendiri, pembunuhan di mana-mana". Demikian keterangan Sersan Husni yang ikut menumpas kekejaman para pemberontak PKI. Desember 1948, Belanda menjarah Yogyakarta. Bung Karno dan Bung Hatta tertangkap. Semua sekolah tutup. “Sekolahku sendiri, bukan sekadar tutup, melainkan runtuh berkeping-keping akibat bumi hangus". 

Demikian pengakuan anak Muhammad Djunaidi yang tak tahu harus berbuat apa karena kantor induknya di Yogya sekarang sudah dikuasai Belanda. Pada saat seperti itu, tiba-tiba saja datang surat dari paman Pak Djunaidi, asisten wedana, yang tinggal di Jakarta. Asisten Wedana yang pro-Belanda itu, menyuruh agar Pak Djunaidi kembali ke Jakarta karena jawatan sosial akan mengurus segala sesuatunya. Sementara itu, di forum internasional, penangkapan Soekarno-Hatta, telah mendatangkan reaksi hebat berbagai Negara. Belanda dikecam habis-habisan. Hampir semua Negara mendesak agar kedaulatan Republik Indonesia dipulihkan.

Keluarga Pak Djunaidi yang mendengar perkembangan terakhir mengenai keadaan negerinya, merasa sangat gembira, terlebih lagi ia sudah merencanakan untuk pulang kembali ke Jakarta. Di Jakarta, si bocah anak Muhammad Djunaidi, kembali masuk sekolah menengah pertama yang disebut sekolah “Republik”. “Tanpa sebuah tiang bendera, sekolah “Republik” itu tak ubahnya sebuah kandang ayam yang teramat besar. Seanteronya berlantai tanah, baik pekarangan maupun ruang kelas. Berdinding bilik, beratap daun nipah. Kakus numpang di rumah tetangga terdekat”. 

Tidak berapa lama kemudian, kakek si bocah menyusul datang ke Jakarta setelah melakukan pengungsian panjang, nyaris menyusuri sepanjang daerah selatan Jawa Barat. Kemudian, si kakek Muhammad Alwi datang bersama istri keduanya yang dikawininya di pengungsian. Istri pertamanya sendiri meninggal sebelum ia ikut mengungsi. Dalam pengungsian juga Muhammad alwi dirawat oleh Sersan Husni. Namun, Sersan Husni yang berniat menikah jika perang telah selesai, gugur diberondong peluru gerombolan DI/TII dalam perjalanan pulang ke Bandung.

Sersan Husni selamat dari peluru Belanda, tetapi harus tewas di tangan bangsanya sendiri. Selepas ditandatanganinya Konferensi Meja Bundar, keadaan nasib para pegawai negeri, termasuk Muhammad Djunaidi, mulai terlihat tanda-tanda membaik. Namun, keadaan itu tidak diikuti oleh keadaan kesehatan istrinya, ibu si bocah.

Dalam usia yang belum begitu tua, 34 tahun, sakit parah wanita itu telah mengantarkannya ke pemakaman. Ia meninggalkan suami yang mengabdi kepada keluarga sebagai tanggung jawabnya, dan setia pada pekerjaannya sebagai pengabdiannya. Si bocah yang ditinggalkan ibunya, masih juga belum mengerti, mengapa nasib manusia tak dapat diduga. Hanya ia merasa, kini ia tidak lagi bocah. “Ingat, kau sekarang bukan anak-anak lagi.” Demikian pesan ayahnya. Pada saat itu, Agustus 1950, “Bendera Republik Kesatuan bersorak-sorak di tiangnya yang tinggi” 

Novel ini mengambil sudut pandang Si Bocah, seorang anak yang masuk ke usia remaja memandang suasana negerinya dengan sudut pandangnya sendiri sehingga peristiwa pertumpahan darah tidak mengudarkan mengerikan, namun justru menggelikan. Di samping itu, novel ini terkesan menyindir tokoh politik saat itu yang lebih suka berdebat satu dengan yang lain dari pada memikirkan urusan bangsa dan negaranya.