“Sepanjang yang sampean tau, sebenarnya puasa itu apa to lik? Tukas
kang Iman.
Tak ada angin tak ada hujan, tak seperti biasanya kang Iman ujug-ujug
tanya babagan puasa kepada sahabatnya ini.
“Halah apasih kang, pertanyaanmu kebanyakan definisi kurang solusi
heuheu..” lik Slamet menanggapi sepele.
“Puasa adalah sebuah istilah yang kita pinjam dari bahasa
Sanksekerta, yakni “Upavasa”. Kata “Upa”
berarti dekat dan “vas” berarti hidup.”
“Penggabungan dua kata tersebut memiliki makna yang lebih dari
sekadar menahan lapar dan dahaga, konon menurut para Resi dan Biksu, kata “upavasa”
berarti hidup yang terbiasa dekat dengan Sang Pencipta melalui doa dan
berpegang teguh dalam hal tersebut.”
Lik Slamet lalu melanjutkan, “Kalangan spiritualis dulu
berpandangan, aktivitas yang menyenangkan fisik jasmani seperti makan, minum
serta berhubungan badan sangat bersifat duniawi sehingga dipercaya cenderung
menjauhkan atau melupakan kehadiran Sang Pencipta.”
Eh iya ding lik, saya kok sajaknya jadi teringat dengan kalimat
begini: “Puasa artinya menahan, membatasi atas kuasa yang kita miliki. Pada
bulan ini kita tidak boleh melihat hal-hal yang seharusnya tidak boleh di
lihat, tidak boleh mendengar yang tidak elok didengar, mengucapkan
kalimat-kalimat kotor yang menyakiti saudara kita.” Kang Iman mengingat-ingat
sebuah kalimat.
“Nah loh, sebenernya paham sampeyan kang, sajak bertanya perihal
puasa malah.”
“Bukan begitu lik, saya sekedar mengungkapkan kegelisahan saja
sebenarnya. Dimana terkadang puasa yang selama kita jalani meski terkadang
sepele tapi perlu dimaknai dengan serius. Perlu ngepasne rasa” Tandas
Kang Iman.
“sebagaimana puasa yang pada hakikatnya adalah mengerem (menahan)
hawa nafsu, saat ini hanya dimaknai dengan menahan lapar dan dahaga. Sehingga
ketika adzan maghrib berkumandang, hal itu sudah diapresiasi sebagai bentuk
terpenuhinya kewajiban puasa dengan standar sudah
menahan
lapar dan dahaga. Kalau begitu adanya, lalu di manakah letak
spesialnya Ramadlan?” kang Iman melontarkan pertanyaan untuk di ‘analisa’
bersama.
“Iyo ta lik?”
“Wah hiya kang, tahapan kita memang masih segitu, puasa kita sekedar
macak puasa, dengan segala kerendahan hati kita harus mengakui kalau kita masih
sebatas pengetahuan belaka. Belum menuju ke kedalaman substansi puasa.
“Jadi intinya apa lik?” Tanya kang Iman serius.
Kita adalah hamba amatiran. wkwk Tandas lik Slamet singkat.
Nah! Mereka berdua tertawa bersama.
(bersambung)
Omah Klenik, 6 Mei 2020