Membaca Srimenanti
Membaca
buku novel Srimenanti karya Jokpin, sapaan Joko Pinurbo adalah sebuah hal yang
baru bagi saya sendiri, setelah sekian dari tulisan tulisan beliau. Perjalanana
kepenyairannya mulai dikenal setelah beliau menerbitkan kumpulan puisi Celana
(1999). Selain itu, beliau juga andal memproduksi cerpen, hingga tak
sedikit karyanya dimuat dalam banyak media massa.
Kegemaran
menulis, mengarang puisi beliau tekuni sejak SMA sebuah perjalanan yang
tentunya memotivasi untuk tandang selalu pada waktu dan tempat kapan pun dan
dimana pun. Tak terikat oleh ruang dan waktu. Menurut tulisan yang berada di
punggung buku ini adalah novel beliau pertama.
Penggambaran
awal yang di buka dengan perjumpaan di pagi yang basah antara si penyair dengan
seorang perempuan muda membuka kisah awal novel ini. perumpamaan yang di tulis beliau itulah merupakan penggambaran
dari puisi Sapardi Djoko Damono “pada Suatu Pagi Hari” Intuisi saya mengatakan,
perempuan yang berpapasan dengan saya di lorong sepi pagi tadi berasal dari
sejak itu (hal. 2).
Perempuan itu adalah Srimenanti, dan
diceritakan senang melakukan “ibadah melukis”. Sedangkan sang penyair adalah
wujud dari penulis sendiri, yakni Joko Pinurbo. Kisah mereka digambarkan secara
berbeda dan bergantian, tetapi tetap dalam satu konteks cerita.
Kedua-duanya punya persoalan yang berbeda tetapi kemudian dipertemukan dalam
satu gagasan untuk bisa merawat asa dengan tetap mencintai hidup ini.
Penggambaran
secara umum novel ini banyak diramu oleh penggalan puisi mbah Sapardi dan
Jokpin sendiri sebagai penulis. Maka jangan terkejut jika ketika membaca akan
menemukan rangkain cerita yang mengalir dari puisi ke puisi. Puisi di sini
begitu diagungkan dan ditampilkan sangat hidup. pokoke mengalir begitu
saja.
Sering
kali justru penggalan puisi yang ditampilkan lebih banyak menghadirkan imaji
visual dan auditif kepada pembaca ketimbang narasi di luar puisi. Puisi-puisi
itulah yang secara tidak langsung menjadi ruh dalam cerita Srimenanti. Kendati
demikian, tidak diragukan pula bahwa secara keseluruhan permaianan kata yang
ada cukup nakal dan sungguh gemilang melahirkan situasi yang optimal bagi
pembaca.
Untuk
selanjutnya, pembaca akan menyadari betapa penulis dengan masifnya mengajak
pembaca untuk percaya kalau “puisi itu menghaluskan jiwa” (hal. 80). Beberapa
ungkapan, semisal, “puisi lebih mujarab”, “sebagai sekutu puisi”, “menunaikan
ibadah puisi”, adalah cara penulis meninggikan harkat dan derajat puisi. Namun,
tentang bagaimana kita bisa atau tidaknya pemuda karena ada baris puisinya yang
berbunyi Rayakanlah setiap rejeki dengan ngopi agar bahagia hidupmu nanti
(hal.79).
Padahal
penggalan puisi itu lebih merupakan guyonan sederhana dalam keseharian hidup
manusia, tetapi sekaligus kritik pedas betapa dunia kita sekarang ini sudah
terindikasi darurat tertawa, seperti halnya sibuk mempersoalkan ideologi dan
kepercayaan. Dalam memaknai suatu puisi
tetaplah kembali pada situasi, pengalaman, dan wawasan masing-masing pembaca. Sebagaimana
yang diriwayatkan, kamaqol Nyai Nella Kharisma wa Via Vallen; kuat dilakoni nek
ra kuat di tinggal ngopi, yang pada outpunya adalah piker keri.