![]() |
@lengger wonosobo inframe :@dianwardaa |
Dhuh gones, dhuh gones parikane
Adhuh gones wicarane
Matur nuwun aja lali
Mring Hyang agung Maha Suci
Pamrihe, pamrihe padha ngerti
Yen uripe diparingi
Aja sembah bekti
Marang Gusti kang Maha suci
Sayup sayup sekilas terdengar suara iringan gamelan bersama
selingan parikan dari rumah lik Slamet. Kala itu angin semilir pun tak mau
ketinggalan meliuk-liuk seakan menari mengikuti tempo suara yang keluar dari
sound system lawas milik lik Slamet.
Meski terlihat lawas dan kuno sound system milik sahabat kang Iman
ini jangan anggap remeh, sebab sudah dirancang dan di upgrade menyesuaikan
zaman now. Lho kok bisa? Tentu bisa. Zaman sekarang apa sih yang tak bisa
diubah dibagus-bagusi, wedhus di pupuri, di klambeni atau
bisa juga disebut pencitraan? Entahlah. Terpenting sound system ini dapat
mengisi di kala sunyi sembari menemani ngrokok dan ngopi lik Slamet.
Waktu menunjuk pukul hampir tengah malam, kang Iman dengan tangan
kanan membawa kresek hitam terlihat asap keluar sekilas dari yang dibawanya,
sepertinya ia sedang membawa sesuatu untuk dibawa ke rumah kawannya itu.
Ya, memang kebiasaan kang Iman jika tak bisa tidur memang selalu
mencari hiburan kalau tidak nongkrong di angkringan dengan nobar bola terlebih
jika tim kesayangannya main atau dolan ke rumah kawannya, lik Slamet.
Kali itu terlihat kang Iman berencana ingin mencari menyambangi
kawannya dengan mampir ke angkringan bermaksud mengecheck ada tontonan yang
menarik ternyata kali itu tayangan TV pun tak ada yang menarik baginya.
“Ah, tayangane kok nggak menarik blass yo mbah?” Tukas kang
Iman singkat.
“Iya kang ra mutu tayangannya, tak seperti biasanya minimal ada
jadwal siaran bola”. Jawab mbah Jo sambil membuat kopi yang dipesan oleh
sebelah kang Iman.
“Hooh mbah”.
“Ini kang kopinya monggo..” Mbah Jo menyodorkan pesanan kopi
“Kalau begitu tak tinggal dulu ya mbah, tolong gedhang goreng ini
yang masih anget di bungkus ya mbah mau saya bawa ke rumah lik Slamet.” Pinta
kang Iman sambil nyikat gedhang goreng.
“Siap..siap.. beres kang”
***
“Assalamualaikum.. lik” uluk kang Iman didepan rumah lik Slamet
yang kebetulan sedang duduk di dipan rumah.
“Wa’alaikum salam.. kang, monggo pinarak “
Sembari
mengeluarkan rokok kretek di saku, lik Slamet menyulut rokok lanjut bertanya
pada kang Iman.
“Baru dari mana
kang?sudah agak lama sampeyan tak mampir kerumah yah.. ”
“Iya lik, ini
baru dari angkringan niatnya mau dolan tapi tak ada tayangan yang menarik malam
ini, nah langsung meluncur kesini heuehehu..”
“Ini lik saya
bawakan pisang goreng masih anget monggo diatasi saja hehe”
“Walah, apik
iku kang, sebentar kalau ada pisang goreng perlu ada jodohnya nunggu kopi dulu
ini sebentar lagi datang”
Tak begitu lama
kopi yang ditunggu oleh keduanya datang.
“Nah ini yang
kita tunggu dari tadi kang” monggo sembari disruput kang mumpung masih pyar”
“Siap lik, ini
lik sambil nyicicipi pisang goreng nya” tukas kang Iman dengan mempersilahkan
pisang goreng.
Sembari
mencicipi kesukaaanya lik Slamet membuka pembicaraanya, “kalau nyicipi pisang
goreng ditambah ngopi mengingatkan saya pekan lalu kang ketika bersama-sama
ngopi jagongan bareng dongengan di lereng Merbabu kemarin kang”
Gimana sih lik
ceritanya? Singkat kang Iman penasaran.
“Begini lho
kang masyarakat disana dalam sesrawungan sungguh menggembirakan seakan sudah
seduluran lawas kang, ibarat saudara jauh yang tak berjumpa lama. Mereka
menyambut dengan gembira menyilakan tempat duduk lanjut menjamu dengan kopi daerahnya.
“Woh, ya asyik
lik kalau begitu”
“Ya kenyataanya
begitu memang kang, pada situasi desa komunitas seperti itu terjaga, masyarakat
desa saling mendukung saling srawung, nyengkuyung dan guyub rukun
menjadi jalinan silaturrahim”
“Lebih asyik
lagi di desa lereng Merbabu itu tradisi nyadran masih terus dilakukan bahkan
satu tahun bisa tiga kali dilaksanakan yaitu; ketika nyadran kali atau bersih-bersih
mata air ada lagi nyadran desa kemudian ada nyadran sawah”
“Lho ada
nyadran sawah juga lik?”Kang Iman menimpali.
“Iya kang,
nyadran sawah dilaksanakan dengan bersih bersih sawah dimana oleh masayarakat
sekitar menurut cerita getok tular di sawah tersebut ada seperangkat
gamelan yang tertimbun, maka sebagai rasa hormat tradisi itu terjaga.”
Tetapi pada
intinya tradisi tradisi tersebut adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada
gusti Allah atas limpahan yang diberikan menjadi desa gemah ripah loh jinawi
“Menjadi desa
yang baldatun thoyibatun wa rabbun
ghofur juga ya lik”
“Tentu kang,
dengan sadranan, wayangan( nanggap wayang kulit), kirab dengan sedekah
bumi kang, begitu lah keindahan tradisi masyarakat desa.
“Meski begitu
tapi ada saja yang ngomong kalau tradisi seperti itu syirik, bidengah, kafir
lik ?”
“Ya nggak papa
juga kang namanya saja sudah terkena syndrom 3C kang”
Waduh penyakit
apa itu lik? Penasaran kang Iman.
Semarang, 22 Mei 2019