![]() |
Padopokan Giri Saba |
Perjalanan hari kedua ekspedisi
kawan-kawan Padopokan Giri Saba jelajah Magelang kali itu sedikit tak sesuai
rencana yang diinginkan, pagi ketika bangun tidur istirahat setelah seharian
pada hari sebelumnya telah menyusuri runtuhan Candi Selogriyo di timur Gunung
Sumbing, dan pada malam harinya dopokan perihal kesenian dan kebudayaan di
Sanggar Wonoseni milik Ki Ipang. Ngobrol ngalor-ngidul apapun malam itu
berlangsung gayeng penuh kemesraan, tentunya banyak hal yang dapat ditangkap wabil
khusus minimal untuk menjadi bekal oleh-oleh dibawa ke Wonosobo. terutama
untuk penulis itu sendiri sebagai pengalaman yang baru.
Berangkat dari
bagaimana me-managemen sebuah seni pertunjukkan sampai perihal ngemong
dalam hal berkesenian maupun berkebudayaan. Misal dalam hal apapun uang tentu
dibutuhkan, apalagi dalam suatu perkumpulan tetapi yang lebih diutamakan yaitu
dalam menjaga pasedulurannya, ya prioritas paseduluran memang nomer satu.
Sejak pagi hujan mengguyur
Windusari, hawa dingin terasa. Rintik hujan yang begitu deras bagai kucuran
rindu seorang jomblo kepada yang dirindukan pun tak dapat dibendung, bahkan
anak indie pun pagi itu juga dapat membuah sebuah karya puisi sebab saking
derasnya hujan di penghujung tahun 2018 di kota seribu bunga itu. #edae
Setelah menunggu beberapa saat hujan pun reda,
tak mau menyia-nyiakan waktu maka dari kawan-kawan PGS langsung bersiap-siap
untuk menjelajahi jejak perdaban Candi Batur. Berganti pakaian sampai celana
dari panjang menjadi pendek sampai membungkus hp dengan plastik untuk
mengantisipasi air hujan jika sewaktu-waktu datang. Mbokan.
Persiapan dirasa cukup
berlangsunglah ekspedisi hari kedua dilaksanakan. Menyusuri Desa desa sekitar
candi Batur sampailah di Dusun Ngobaran, Desa Candisari, yang masuk wilayah
Kecamatan Windusari, Magelang.
Perjalanan yang ditempuh sekitar
setengah jam dari rumah mas Zaki. Sesampainya di post terakhir hanya nampak
jalan setapak paving dan sedikit licin, eh tak sedikit deng. Tanpa
basa-basi langsung gas menyusuri lereng bukit, belum sampai lokasi yang di tuju
jalan semakin menanjak dan ban sepeda pun selip maka terpaksa sepeda motor pun
diparkir di tengah perjalanan. Tak begitu lama usai memarkir kendaraan disambung
dengan berjalan tipis-tipis menuju puncak bukit Batur.
Sesampainya lokasi tempat
ditemukannya bebatuan candi, kawan PGS pun langsung memulai ibadah nge-live
streaming tak lupa uluk salam bismillah. Lanjut dengan menyusuri bagian
bagian candi yang telah ditemukan. Candi Batur, warga sekitar menyebutnya. Memang
sesuai dari namanya saja sudah menggambarkan. Dari kata Batur dapat diartikan
sebagai batu yang ditata, Mbaturan.
Menurut penuturan dari mas Zaki,
candi Batur ini ditemukan sekitar tahun 2008-an, dengan ditemukannya pertama
sebuah gundukkan yang sekarang ini dapat kita lihat seperti makara.
Makara merupakan makhluk dalam
mitologi sering digambarkan sebagai kendaraan dari Dewa Gangga dan Dewa Baruna,
makara juga sering dilukiskan dan sering disebut gajah mina yang secara harfiah
berarti ikan gajah. Kadangkala juga digambarkan sebagai makhluk berwujud
separuh kambing dan separuh ikan seperti simbol dalam zodiak capicorn. Makara
ini pun juga sering kita temukan pada pahatan candi, di Candi Batur misalnya
yang masih utuh seberapa pada bagian utara dan selatan. Makara digambarkan
dengan ukiran gambar burung pada bagian mulut, seperti burung merpati. Ditambah
jika dikaitkan di daerah candi batur itu juga dulu sering banyak burung
merpati, kandang dara, menyebutnya.
Ketika menelusuri sisi per sisi
reruntuhan candi, dan mendengar tentang burung merpati itu, pikiran saya teringat
tentang hal yang dapat dipelajari dari burung merpati, dimana salah satu dari
burung yang digambarkan setia kepada pasangan dan juga sebagai wasilah
pembelajaran dalam laku urip dari beberapa hewan-hewan lainnya. Jika
dikaitkan dengan tempat pernah menjadi rumah bagi burung merpati maka hal ini
menjadi sebuah ke menarikan tersendiri dengan amtsal-amtsal yang ada.
Selain makara juga ditemukan sebuah batuan
persegi bentuk mirip karambol atau menyerupai sebuah wastafel, entah sebuah
batuan yang digunakkan untuk apa. Pada bagian bawah yang kira-kira sebagai
pintu gerbang masih terlihat sedikit saja hampir mirip dengan makara
sebelumnya. Dilansir dari mbah google menyebutkan bahwa Candi Batur dahulunya
juga disebut sebagai Candi Selogono. Selebihnya tak ada data penting yang
menyangkut candi tersebut. Candi Batur terlihat ada dua tangga masuk ke
bangunan utama candi. Seperti yang telah saya gambarkan diatas.
Dari bebatuan yang berserakan dan
tentu masih ada yang belum di temukan namun ini menjadi bahan pembelajaran yang
menarik dibalik batu itu tentu mengadung sebuah makna yang ingin disampaikan
oleh para pendahulu, yang mesti memuat sebuah beribu pitutur.
Sekira dirasa cukup kali itu dalam
penelusuran candi Batur, kawan-kawan PGS pun menyudahi ekspedisi dengan
menuruni bukit, sesekali canda dan tawa menyelingi perjalanan sehingga menambah
kelelahan perjalan itu. Namun itu yang menjadi kerinduan jika tak bertemu. Ekspedisi
pun dipungkasi dengan ngadem di Kalibening, Payaman, dengan ciblon mandi dari
mata air yang jernih sebelum kembali ke negeri atas awan, Wonosobo, the cool of
java. Edae.