Iklan

Senin, 15 Januari 2018, 07.21.00 WIB
Last Updated 2020-08-22T17:35:34Z
Lenggeran

Belajar Dari Tembang Babadan (3)


foto:ig;@nugroho_art

“Owalah gitu to lik.” Timpal kang Iman manggut-manggut.
Ditambah lagi ada syair lanjutannya yang bunyinya seperti ini kang; “Sun sinau mbangun langgar pinggir kali”.
Lha apa itu kang? Sampean mau mendirikan mushola dipinggir kali? Nanti kalau kebajiran bagaimana sudah dipikir sejauh itu kang?
Esh esh esh. Sst, sampean diam dulu to kang. Dari tadi nanya terus tak dijeda pula, nanti saya jawabnya gimana? Lik Slamet memotong pertanyaan kang Iman yang nyrocos seperti sepur.
Ohh. Iya lik iya, maaf lo saya kan terburu penasaran? Kang Iman membela dirinya. Monggo teruskan?
 Pada syair diatas  bermakna "saya belajar membangun mushola di tepi sungai". Tapi akan menjadi wagu jika diartikan secara kata perkata. Saya sudah menebak pasti jika saya mengucapkan syair itu pasti akan menimbulkan sebuah pertanyaan; apakah mendirikan langgar di tepi sungai pas? Bagaimana ketika sedang sholat dan banjir menerjang?. Seperti yang sampean ditanyakan tadi lo?
Namun, begini kang, yang dapat saya tangkap dari teks tersebut adalah belajar maupun mempelajari, seperti yang tertera pada kata sinau. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan harus selalu mempelajari maupun belajar kepada.”
“Belajar yang bagaimana?” Kang Iman nyeletuk lagi.
“Ya, belajar pada tari lengger, menyan, belajar pada gamelan, belajar kepada apapun asalkan menjadikan hidup menjadi lebih baik dan menambah kedekatan pada Tuhan dan Kekasih-Nya(mentadabburi apapun). Dan tak lupa dengan berbekal sudut pandang, jarak pandang. apabila sudah matang dalam hal hal, lalu tinggal bagaimana mengolah menjadi ilmu (metodologi).” Tandas lik Slamet, sambil asyik nglinthing tembakaunya..

Wonosobo, 15 Januari 2018