foto:ig;@nugroho_art |
“Owalah
gitu to lik.” Timpal kang Iman manggut-manggut.
Ditambah
lagi ada syair lanjutannya yang bunyinya seperti ini kang; “Sun sinau mbangun langgar
pinggir kali”.
Lha apa itu kang? Sampean mau mendirikan mushola dipinggir kali? Nanti
kalau kebajiran bagaimana sudah dipikir sejauh itu kang?
Esh esh esh. Sst, sampean diam dulu to kang. Dari tadi nanya terus
tak dijeda pula, nanti saya jawabnya gimana? Lik Slamet memotong pertanyaan
kang Iman yang nyrocos seperti sepur.
Ohh. Iya lik iya, maaf lo saya kan terburu penasaran? Kang Iman
membela dirinya. Monggo teruskan?
Pada syair diatas bermakna "saya belajar membangun mushola di
tepi sungai". Tapi akan menjadi wagu jika diartikan secara kata perkata. Saya sudah menebak pasti jika saya mengucapkan syair itu pasti akan menimbulkan sebuah
pertanyaan; apakah mendirikan langgar di tepi sungai pas? Bagaimana
ketika sedang sholat dan banjir menerjang?. Seperti yang sampean ditanyakan
tadi lo?
Namun, begini kang, yang dapat saya tangkap dari teks tersebut
adalah belajar maupun mempelajari, seperti yang tertera pada kata sinau. Hal
ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan harus selalu mempelajari maupun belajar
kepada.”
“Belajar yang bagaimana?” Kang Iman nyeletuk lagi.
“Ya, belajar pada tari lengger, menyan, belajar pada gamelan,
belajar kepada apapun asalkan menjadikan hidup menjadi lebih baik dan menambah
kedekatan pada Tuhan dan Kekasih-Nya(mentadabburi apapun). Dan tak lupa dengan
berbekal sudut pandang, jarak pandang. apabila sudah matang dalam hal hal, lalu
tinggal bagaimana mengolah menjadi ilmu (metodologi).” Tandas lik Slamet,
sambil asyik nglinthing tembakaunya..
Wonosobo, 15 Januari 2018