Iklan

Minggu, 28 Mei 2017, 09.04.00 WIB
Last Updated 2017-05-28T16:35:30Z
budayaTradisi

Melestarikan Syiiran dengan Wujudan


Jamaah mushola Asyukron Garung, Wonosobo melantunkan syiir ‘Aqaid Seket.


Syiir ‘Aqaid Seket atau masyarakat biasa menyebutnya Wujudan merupakan wujud dari pelestarian budaya syiiran. Kata wujudan berasal dari cuplikan syiir yang didalamnya menjelaskan tentang ajaran tauhid yang wajib diimani. Ajaran tersebut meliputi 20 sifat wajib Allah, 20 sifat muhal ‘mustahil’ bagi Allah, 1 sifat jaiz bagi Allah SWT , 4 sifat wajib bagi rasul, 4 sifat mustahil bagi Rasul, dan 1 sifat Jaiz bagi Rasul yang jika dijumlah keseluruhannya menjadi 50 atau seket (dalam bahasa Jawa), sehingga disebut syiir Aqoid Seket. Wujudan biasanya dilantunkan setiap malam sepanjang Ramadan setelah sholat tarawih dan sebelum tadarus Al-Qur’an oleh jamaah secara bersamaan.
“Untuk melantunkan syiir ini biasa diiringi kentongan atau bedug. Akan tetapi, di mushola ini berbeda, yaitu diiringi terbang Jawa, dimana paduan antara pukulan terbang dan suara. Para penabuh harus melakukan koordinasi dan kerjasama agar menjadi suatu pola yang baik,” tutur Tri Yulianto (19) salah satu penabuh terbang.
“Apa yang kita lantunkan kemudian kita iringi ini termasuk seni rodat atau biasa disebut kemplingan”. Imbuhnya.
    Syiiran merupakan bentuk karya sastra Islam yang menunjukkan bahwa para mubaligh mengenal betul akan karya-karya Islam, sehingga menuangkannya dalam bentuk bahasa Jawa agar mudah dipahami oleh masyarakat, seperti syiir Aqoid Seket yang menggunakan logat bahasa daerah Wonosobo. Dan yang lebih mengagumkan adalah jenis nada atau vokal yang diciptakan oleh mubaligh menunjukkan karakter suara yang khas, atau lebih terasa sebagai bersahaja seperti orang desa yang hidupnya bersahaja, jujur, tegas, dekat dengan alam dan Tuhan.
Salah satu nadhir mushola Asy-Syukron Ahmad Shohari (80) mengatakan,”Wujudan itu sendiri dilantunkan setiap malam selama bulan Ramadan, dan sudah berlangsung bertahun tahun dari generasi ke generasi secara bersamaan, setelah sholat tarawih. Tidak jelas siapa pengarang syi’ir tersebut. Ada yang menyebutkan itu karya dari KH. Abu Darda’ Sigedong, Kepil, Wonosobo, ada pula yang menyebutnya dari KH. Asnawi Umar, Pangen, Purworejo. Belum ada penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut, yang jelas ini karya para mubaligh masa lalu, oleh karena itu sebagai wujud budaya kita harus melestarikannya.” 
Syiiran adalah suatu khasanah sastra Islam Jawa yang berbentuk nadhom yang dilagukaan sebagai sebuah budaya yang melekat dengan kehidupan di masyarakat. Intinya adalah sebagai pengajaran dan pengamalan dari ajaran agama tentang ketauhidan Ahlussnunnah Wal Jama’ah. Dan juga bisa jadi hiburan untuk masyarakat.